Rabu, 02 Desember 2009

Daerah Khusus Ibukota Jakarta


Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta, Jakarta Raya) adalah ibu kota negara Indonesia, dalam etnis Tionghoa, kota ini juga dikenal dengan Ya Jia Da (雅加达). Kota ini merupakan satu-satunya di Indonesia yang memiliki status setingkat provinsi. Jakarta terletak di bagian barat laut Pulau Jawa. Dahulu pernah dikenal dengan nama Sunda Kelapa/Kalapa (sebelum 1527), Jayakarta (1527-1619), Batavia (1619-1942), dan Djakarta (1942-1972).

Pada tahun 2004, luasnya adalah sekitar 740 km²; dan penduduknya berjumlah 8.792.000 jiwa[2]. Jakarta bersama metropolitan Jabotabek dengan penduduk sekitar 23 juta jiwa merupakan wilayah metropolitan terbesar di Indonesia atau urutan keenam dunia. Kini wilayah Jabotabek telah terintegrasi dengan wilayah Bandung Raya, di mana megapolis Jabotabek-Bandung Raya mencakup sekitar 30 juta jiwa, yang menempatkan wilayah megapolis ini di urutan kedua dunia, setelah megapolis Tokyo.

Saat ini pintu masuk internasional Jakarta dapat melalui Bandara Soekarno-Hatta dan Pelabuhan Tanjung Priok. Sejak tahun 2004 di bawah kepemimpinan gubernur Sutiyoso, Jakarta memiliki moda transportasi terpadu, yang dikenal dengan Transjakarta. Selain istana negara, Jakarta juga merupakan kantor pusat Bank Indonesia dan Bursa Efek Indonesia.


Geografi

Jakarta berlokasi di pesisir utara pulau Jawa, di muara sungai Ciliwung, Teluk Jakarta. Jakarta terletak di dataran rendah pada ketinggian rata-rata 8 meter d.p.l. Hal ini mengakibatkan Jakarta sering dilanda banjir. Selatan Jakarta merupakan dataran tinggi yang dikenal dengan daerah Puncak. Jakarta dialiri oleh 13 sungai yang kesemuanya bermuara ke Teluk Jakarta. Sungai yang terpenting ialah Ciliwung, yang membelah kota menjadi dua. Sebelah timur dan selatan Jakarta berbatasan dengan provinsi Jawa Barat dan disebelah barat berbatasan dengan provinsi Banten.

Kepulauan Seribu, sebuah kabupaten administratif, terletak di Teluk Jakarta. Sekitar 105 pulau terletak sejauh 45 km (28 mil) sebelah utara kota.


Iklim

Jakarta memiliki suhu udara yang panas dan kering atau beriklim tropis. Terletak di bagian barat Indonesia, Jakarta mengalami puncak musim penghujan pada bulan Januari dan februari dengan rata-rata curah hujan 350 milimeter (14 inchi)dengan suhu rata-rata 27 °C,curah hujan antara bulan januari dan awal februari sangat exterm pada saat itulah jakarta dilanda banjir setiap tahunya , dan puncak musim kemarau pada bulan Agustus dengan rata-rata curah hujan 60 milimeter (2,4 inchi) bulan september dan awal oktober adalah hari-hari yang sangat panas di jakata suhu udara dapat mencapai 40 °C .[3]. Suhu rata-rata tahunan berkisar antara 25°-38 °C (77°-100 °F).[4]


Etimologi

Nama Jakarta dianggap sebagai kependekan dari kata Jayakarta. Nama ini diberikan oleh orang-orang Demak dan Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah (Faletehan) setelah merebut pelabuhan Sunda Kelapa dari Kerajaan Sunda pada tanggal 22 Juni 1527. Nama ini biasanya diterjemahkan sebagai kota kemenangan atau kota kejayaan, namun sejatinya artinya ialah "kemenangan yang diraih oleh sebuah perbuatan atau usaha" dari bahasa Sansekerta jayakṛta (Dewanagari जयकृत). Nama lain atau sinonim "Jayakarta" pada awal adalah "Surakarta".[5]


Nama Lain Jakarta

Batavia (nama kolonial Belanda), Betawi (ejaan lain Melayu, Indonesia), Sunda Kelapa (nama asli), Cakarta (Turki), Djakarta (ejaan lama Indonesia, Perancis, Jerman, Romania), Dzhakarta - Джакарта (Rusia), Džakarta (Serbia, Kroasia), Dżakarta (Polandia), Dzsakarta (Hungaria), Giacarta (Italia), Iacárta (Irlandia), Jacarta (Portugis), Jakaruta - ジャカルタ (Jepang), Jagatara - ジャガタラ (Jepang [arkais]), Τζακάρτα (Yunani), ჯაკარტა (Georgia), Yakarta (Spanyol), Yǎ Jìa Dá (baca: Yǎcìatá) - 雅加达 (Tionghoa).

Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_Khusus_Ibukota_Jakarta

Sumber Gambar:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj4HdrawwZvAwGQ06F-BImKm6a6kBTmEjUgRc9ecAMTmKfjAW8u5W7x6h5NENF5lTuO6Vz7iNUyvPOdmVLlmgoh1Y_UoPJHmqWzN-2_8wRzIWfJm7-gcSc6fGrzrzmJAlyfVy8fANkL3wxo/s400/traffice-jakarta.jpg


Peta Jakarta


View Larger Map

Bisakah Jakarta Bebas Banjir?

Bagi warga Jakarta khususnya dan penduduk Indonesia umumnya , Januari identik dengan “hujan setiap hari” atau Desember sering diasosiasikan dengan “gede-gedenya sumber (air)”. Ini cukup beralasan karena pada bulan-bulan itulah biasanya terjadi puncak siklus musim hujan di Indonesia dan wilayah ibukota tertutup genangan air.

Bahkan menurut prakiraan Badan Klimatologi, Meteorologi dan Geofisika (BKMG) curah hujan masih tinggi hingga bulan Februari bahkan mungkin Maret. Awal hingga pertengahan Februari 2009 akan menjadi puncak musim hujan.

Jika hujan turun berhari-hari yang terbayang di mata warga Jakarta terutama yang tinggal di bantaran kali Ciliwung dan kawasan-kawasan rawan banjir lainnya, adalah luapan air yang akan merendam rumah mereka selama berhari-hari.

Di saat seperti ini, orang lalu teringat pada Bendung Katulampa di Bogor, Pos Pengamat Ketinggian Air di Depok, Pintu Air Manggarai, Pintu Air Sunter di mana ketinggian muka air diukur, banjir kiriman, perahu karet, tenda darurat juga nasi bungkus.

Anehnya, meski banjir berulang setiap tahun, warga khususnya yang bermukim di daerah aliran sungai tidak bersedia direlokasi, mereka menganggap banjir itu sudah lumrah dan memiliki loteng di rumahnya untuk mengungsi, kemudian menunggu bantuan datang.

Walau mungkin sudah berganti-ganti generasi, tanggapan warga tetap sama dan ini agaknya bisa dipahami jika merujuk catatan yang dihimpun Tempointeraktif, ternyata Jakarta mempunyai cerita panjang soal banjir. Banjir besar pernah melanda Jakarta sejak masih bernama Batavia tahun 1621 kemudian berulang pada 1654, 1918, 1942, 1976, 1996, 2002 dan tentu saja yang paling mudah diingat banjir yang terjadi tahun 2007.

Banyak penyebab mengapa banjir menjadi sangat akrab dengan ibukota ini. Dataran Jakarta lebih rendah dari permukaan laut, juga 13 sungai yang melintasi wilayah ini. Kondisi itu diperparah oleh sistem drainase yang buruk, menumpuknya sampah dan sungai yang makin menyempit karena tepiannya dijadikan perumahan penduduk.

Kali Ciliwung, satu diantara sungai yang dulu pernah bermanfaat bagi masyarakat sebagai sumber air bersih, sarana transportasi, pembudidayaan ikan atau pertanian, kini jika musim hujan tiba berubah menjadi penyebab bencana.

Suatu Penelitian Neraca Keseimbangan Lingkungan Hidup Daerah tahun 2006; menunjukkan, Jakarta yang mempunyai luas wilayah 661,62 km2 di mana 609,61 km2 atau 91,99 persen sudah terbangun, hanya memiliki 18.180 ruang hijau terbuka (RTH) untuk menyerap air ke dalam tanah.

Akibatnya, selain setiap musim hujan air tak tertampung dan menggenagi sebagian besar wilayah Jakarta, juga tak dapat menyimpan cadangan air yang diperlukan di setiap musim kering/kemarau.

Untuk mengantisipasi datangnya banjir pada musim ini, Pemda DKI telah siap dengan aksi terpadu yang melibatkan berbagai instansi yang dikoordinasi oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Di lima wilayah DKI telah dibangun dapur umum yang setiap hari dapat menyiapkan 5.000 nasi bungkus.

Kalau menyimak rentetan kejadian yang nyaris berulang, tentu sering terpikir adakah cara yang dapat mengatasi bencana banjir seperti ini? Bisakah Jakarta terbebas dari genangan air? Atau haruskah kita berpikir bagaimanakah mengubah air bah ini dari sumber bencana menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi warga?


Mengatasi Banjir

Usaha untuk mengatasi agar Jakarta tak kebanjiran sudah pula dilakukan sejak lama. Berdasarkan catatan sejarah, penguasa Belanda (tahun 1920) Van Breen membangun kanal yang mengitari kota bagian barat untuk membuang limpahan air ke laut Jawa.

Saluran yang dibangun tahun 1922 ini masih berfungsi hingga sekarang, yaitu yang kita kenal sebagai Pintu Air Manggarai. Inilah yang kemudian disebut Banjir Kanal Barat. Van Breen kemudian merancang saluran Kanal Timur yang berhulu di Kali Cipinang dan bermuara di laut Jawa.

Ide ini agaknya kemudian mengilhami Presiden Megawati yang berecana membangun Banjir Kanal Timur (BKT), sepanjang 23 km membentang dari kali Cipinang ke laut Jawa dengan lebar antara 100-300 meter. Menurut rencana BKT selesai tahun 2010.

Namun persoalan-persoalan pelik yang membelit pembangunan BKT, seperti pembebasan tanah warga, membuat pembangunan BKT ini tersendat-sendat.

Banyaknya sampah di sungai menjadi salah satu penyebab banjir. Pemerintah DKI Jakarta harus mengangkat 600 m3 sampah sungai setiap kali banjir datang pada tahun lalu.
 
Upaya membangkitkan kesadaran masyarakat yang tinggal di daerah aliran sungai untuk lebih mencintai lingkungan, meski sangat sulit sebaiknya terus dilakukan dengan berbagai pendekatan. Memberikan pengetahuan untuk mengolah sampah menjadi barang bermanfaat, agaknya dapat membantu merubah kebiasaan membuang sampah ke sungai.

Prinsip-prinsip membangun alam yang ramah lingkungan yang dikenal dengan 3 Reduce, Reuse dan Recycle, secara bertahap lebih diintensifkan. Reduce, berarti mengurangi sampah, warga bisa membawa tempat makanan sendiri saat membeli makanan di warang jika dibawa pulang, atau membawa minuman dalam botol minum daripada membeli air dalam botol kemasan.

Reuse, artinya menggunakan kembali barang-barang bekas, misalnya ember atau kaleng untuk pot. Terakhir Recyle, mendaur ulang; misalnya sampah dapur dan daun dijadikan kompos, kemasan plastik minyak goreng, minuman instan dan lain-lain dapat dijadikan tas yang cantik dan trendi.

Usaha memindahkan penduduk yang tinggal di daerah aliran sungai juga bukan perkara mudah. Tipis kepedulian dan kesadaran warga bahwa sebenarnya keberadaan pemukiman penduduk di bantaran kali dapat menghambat arus sungai ke muara, sehingga air melimpah ke sisi sungai.

Sekalipun ada tawaran untuk pindah ke rumah susun misalnya, alasan klasik selalu muncul. Dana yang tak cukup untuk menyewa rumah atau letaknya jauh dari tempat mencari nafkah dan sederet dalih lainnya. Pendek kata, mereka lebih suka kebanjiran daripada dipindahkan.

Kesadaran warga untuk menyayangi lingkungan perlu terus dikobarkan. Membersihkan saluran air harus dilakukan setiap hari, tak perlu menunggu hujan turun. Membuang sampah atau memafaatkan sampah yang ada agar menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat harus terus digalakkan.

Ketika proyek BKT tak kunjung rampung, warga langganan banjir lebih suka menunggu bantuan atau antri di dapur umum untuk mendapatkan jatah nasi bungkus sementara kesadaran untuk membuang sampah di tempat seharusnya tak kunjung tiba dan mereka terus memperluas areal pemukiman di bantaran kali, maka impian Jakarta bebas genangan air, akan semakin jauh dari kenyataan. (agus sb/id)

Sumber :
http://blogs.depkominfo.go.id/bip/2009/01/22/bisakah-jakarta-bebas-banjir/
22 Januari 2009

Penduduk DKI Jakarta Berkurang


Penduduk Jakarta Selatan dan Pusat dalam jangka waktu 10 tahun mengalami penurunan sebesar 15% (Jak-Sel) dan 21% (Jak-Pusat), sedangkan wilayah Jakarta lainnya mengalami kenaikan jumlah penduduk yang besarnya bervariasi. Secara keseluruhan penduduk Provinsi DKI Jakarta menurun 1% dalam kurun waktu 10 tahun ini.

Dari kacamata awam, sepertinya fakta dari data ini kurang benar karena DKI Jakarta sebagai ibukota negara, pusat ekonomi dan perdagangan, dan pusat informasi dan hiburan masih merupakan primadona para pencari pekerjaan yang makin hari makin bertambah saja baik dari penduduk DKI sendiri ataupun dari luar provinsi DKI.

Sebagian orang menganggap data podes (terutama jumlah penduduk) bukan merupakan statistik yang dipercaya. Jumlah penduduk di Podes berasal dari informasi Kepala Lurah/Sekretaris Kelurahan berdasarkan data catatan di kelurahan. Memang patut dipertanyakan bagaimana mereka update data tersebut tiap waktu.

Tetapi dari hasil grafik diatas, mungkin ada sesuatu yang mungkin ada benarnya. DKI Jakarta luas wilayahnya tidak berubah, urbanisasi sangat tinggi di DKI. Akibatnya pendatang harus memiliki tempat tinggal. Jika pola ini terus-menerus terjadi, maka tempat tinggal akan makin sulit ditemukan di DKI.

Pemerintah dan swasta pasti melihat fenomena ini, sehingga direspon dengan salah satunya pembuatan jalur trasportasi dan penambahan alat transportasi yang dapat menghubungkan antar wilayah termasuk dengan wilayah di luar DKI seperti Tangerang, Bekasi, Depok dan Bogor. Ibaratnya air yang terus menerus masuk ke bak mandi, maka kalau penuh akan luber keluar juga. Maka terjadilah perpindahan penduduk ke luar DKI ke daerah sekeliling DKI atau sering juga disebut daerah penyangga.

Dari grafik tersebut dapat terlihat bahwa hampir semua daerah penyangga penduduknya bertambah cepat. Jadi mungkin saja fakta dari data Podes ini ada benarnya walaupun kita masih belum nyakin dengan kebenaran data tersebut. Jika datanya pakai data valid, jangan-jangan lebih dari 1% berkurangnya penduduk DKI dalam 10 tahun ini. Ingat ini penduduk yang tinggal di DKI bukan cari uang di DKI!

Sumber :
http://podes.blogspot.com/2006/09/penduduk-dki-jakarta-berkurang.html
22 September 2006

35-40 Persen Penduduk Jakarta Butuh Subsidi Kesehatan

Sekitar 35 persen hingga 40 persen dari sekitar 9 juta penduduk DKI Jakarta, mengalami masalah biaya kesehatan, sehingga membutuhkan subsidi pemerintah. 

Menurut Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta, Chalik Masulili, keluarga miskin (gakin) di Jakarta tercatat sebanyak 542.000 jiwa hingga akhir 2004. Sedangkan warga tidak mampu jumlahnya sekitar 700.000 jiwa pada akhir 2004.

"Tahun ini, kami akan menyelesaikan data warga miskin sesuai hasil survei di lapangan. Kemungkinan jumlahnya bisa lebih banyak lagi karena sekitar 35 sampai 40 persen penduduk DKI memiliki masalah biaya kesehatan," kata Chalik, di Jakarta, Rabu (2/1).

Dia mengatakan, jumlah keluarga miskin di Jakarta yang didata Dinkes DKI melebihi data Badan Pusat Statistik (BPS) yang hanya sebanyak 270.000 jiwa pada akhir 2004 sehingga subsidi kesehatan untuk 266.000 warga miskin dibiayai sendiri oleh Pemda DKI Jakarta.

Chalik mengungkapkan, perbedaan data warga miskin tersebut, disebabkan Dinkes DKI mendata sendiri jumlah warga miskin di Jakarta untuk diberikan Kartu Gakin. Selain itu, Dinkes juga terus mendata jumlah warga yang berobat dengan menggunakan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), agar subsidi yang diberikan pemerintah tepat guna.

"Ternyata hasil di lapangan, jumlah warga miskin yang kami data lebih banyak dari data BPS. Ini yang sedang kami upayakan supaya datanya bisa difinalisasi tahun ini agar warga miskin bisa segera memperoleh Kartu Gakin," ujar Chalik.

Dia mengungkapkan, untuk 2005, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menyediakan subsidi kesehatan untuk warga miskin Rp 100 miliar. Sedangkan dari kompensasi BBM, subsidi yang diberikan sekitar Rp 14 miliar.

Chalik menambahkan, besarnya subsidi kesehatan yang disediakan Pemprov DKI untuk warga miskin, dimaksudkan agar penanganan kesehatan warga miskin betul-betul sampai kepada yang membutuhkan. "Caranya, kalau belum punya Kartu Gakin, warga bisa menggunakan SKTM yang disertai bukti kepemilikan KTP DKI," katanya.

Tetap Berlaku
Chalik juga mengatakan, meski Menteri Kesehatan (Menkes) telah mengeluarkan keputusan tentang pelayanan kesehatan melalui PT Asuransi Kesehatan (Askes), namun Kartu Gakin dan SKTM tetap berlaku di seluruh rumah sakit di DKI.

"Kami sudah mendapat persetujuan dari Menkes bahwa di DKI pelayanan kesehatan untuk warga miskin menggunakan sistem sendiri, yakni Kartu Gakin dan SKTM. Jadi Kartu Gakin dan SKTM tetap berlaku dan harus dilayani," kata Chalik.

Sementara anggota Komisi E DPRD DKI, Syamsidar Siregar mengatakan, Dinkes DKI harus menyosialisasikan hal itu kepada masyarakat dan RS di Jakarta. Pasalnya, sejumlah warga miskin mengeluhkan masih ditagih bayaran dari RS, walaupun sudah menunjukkan Kartu Gakin atau SKTM.

"Dari hasil kunjungan kami ke beberapa RS Februari lalu, ada pasien yang tetap membayar walaupun punya SKTM. Katanya, pihak rumah sakit menagih bayaran dengan alasan hanya pemegang Kartu Askes yang tidak membayar," ujar Syamsidar.

Terkait dengan itu, lanjutnya, Pemprov DKI harus bekerja sama dengan seluruh jajaran sampai tingkat kelurahan agar warga dapat mengetahui fungsi Kartu Gakin dan SKTM. Hal itu juga harus disosialisasikan kepada RS agar dapat melayani warga miskin dan tidak memungut bayaran.

Ditambahkan, pendataan warga miskin yang nantinya diberi Kartu Gakin juga harus dilakukan dengan teliti sehingga penyaluran subsidi kesehatan betul-betul dinikmati warga miskin.

Tangerang
Pasalnya, dari Hasil survei Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) pada tahun 2003-2004, dari 1.826 responden, masyarakat miskin yang memiliki Kartu Gakin kurang dari 10 persen.

Di tempat terpisah, juru bicara Pemkab Tangerang, Achmad Djabir mengatakan, untuk program kompensasi BBM bidang kesehatan, Dinas Kesehatan menjadi pelaksana program Asuransi Kesehatan (Askes) bagi sekitar 246.000 jiwa warga miskin di kabupaten itu.

Dinas Kesejahteraan Sosial menjadi pelaksana serta pengendali dalam pengucuran pangan murah atau beras untuk orang miskin (raskin) bagi para keluarga miskin.

Kepala Dinkesos, Subarnas, menyebutkan, untuk delapan bulan pertama didistribusikan sebanyak 11.528 ton/ bulan.

Sedangkan program kompensasi kenaikan BBM yang dikendalikan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan adalah pemberian beasiswa bagi para anak didik dari keluarga tak mampu. Hal itu diputuskan dalam rapat gabungan Muspida Kabupaten Tangerang.

Rapat itu juga merumuskan tiga masalah pascapenyesuaian harga BBM yang harus diantisiapasi, yaitu keresahan masyarakat, kelangkaan bahan bakar, terutama minyak tanah dan solar, serta antisipasi masalah kenaikan tarif angkutan umum agar tidak menimbulkan gejolak di antara masyarakat pelaku usaha transportasi maupun pengguna jasa perhubungan.

Menurut Djabir, Dinas Perhubungan dalam waktu dekat bakal mengumpulkan pelaku usaha angkutan berikut organisasi tempat mereka bernaung guna mencari titik temu dalam menyikapi masalah yang mungkin timbul pascakenaikan BBM. (132/J-6)

Sumber:
http://www.suarapembaruan.com/News/2005/03/03/index.html

05Mar2005 dalam :

http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1109905161,95886,

Jumlah Penduduk Miskin di Jakarta Menurun

Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta menyatakan terjadi penurunan jumlah penduduk miskin di Jakarta untuk tahun 2009 sebanyak 56,4 ribu orang menjadi 323,2 ribu orang (3,62 persen).

"Selama tiga tahun terakhir terjadi kecenderungan penurunan jumlah penduduk miskin di Jakarta," ujar Kepala BPS DKI Agus Suherman di Jakarta.

Pada tahun 2008, jumlah penduduk miskin Jakarta adalah sebanyak 379,6 ribu orang (4,28 persen) dan pada tahun 2007 adalah sebanyak 405,7 ribu (4,5 persen) dan jumlah tertinggi penduduk miskin Jakarta adalah pada 2006 yakni sebanyak 407,1 ribu orang (4,6 persen).

Menurut Agus, jumlah tersebut merupakan imbas dari kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sebanyak dua kali pada tahun 2005, karena jumlah penduduk miskin pada tahun 2005 adalah sebanyak 316,2 ribu orang.

"Imbas kenaikan BBM terhadap peningkatan angka kemiskinan mencapai puncaknya pada tahun 2006," jelasnya.

Sementara garis kemiskinan atau rata-rata pengeluaran perkapita perbulan selalu mengalami peningkatan tiap tahunnya, dimana untuk tahun 2009 angka garis kemiskinan tersebut adalah Rp316.936, mengalami peningkatan dari tahun 2008 yang sebesar Rp290.268.

"Garis kemiskinan selalu menunjukkan peningkatan setiap tahun terkait dengan angka inflasi dan pola konsumsi masyarakat," kata Agus.

Sementara untuk Rumah Tangga Sasaran (RTS), jumlahnya mengalami peningkatan dari 160.480 RTS pada 2005 menjadi 180.660 pada 2008.

"Jumlah ini berbeda dengan jumlah penduduk miskin karena memperhitungkan juga jumlah penduduk hampir miskin," terangnya.

Penghitungan RTS adalah untuk menyediakan database untuk penerima program pemerintah pusat maupun daerah seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Beras Miskin (Raskin), maupun Jaminas Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).

Penentuan RTS tersebut menggunakan 14 kriteria yaitu luas lantai bangunan tempat tinggal, jenis lantai bangunan tempat tinggal terluas, jenis dinding bangunan tempat tinggal terluas.

Fasilitas tempat buang air besar, sumber air minum, sumber penerangan utama, jenis bahan bakar untuk memasak sehari-hari, konsumsi daging/ayam/susu dalam satu minggu, makan dalam sehari untuk setiap anggota rumah tangga, pembelian pakaian baru untuk setiap anggota/sebagian anggota rumah tangga dalam setahun.

Selanjutnya kemampuan membayar untuk berobat ke puskesmas/poliklinik, lapangan pekerjaan utama kepala rumah tangga, pendidikan tertinggi yang ditamatkan kepala rumahtangga, pendidikan tertinggi yang ditamatkan kepala rumah tangga dan kepemilikan aset/tabungan.

Penyebaran RTS di wilayah Jakarta adalah terbanyak di Jakarta Utara sebanyak 54.827 RTS, disusul oleh Jakarta Timur 50.856 RTS, Jakarta Barat 37.194 RTS, Jakarta Pusat 26.531, Jakarta Selatan 10.601 RTS dan Kepulauan Seribu 651 RTS.(B8).

Sumber :

http://www.fauzibowo.com/berita.php?id=1825

7 November 2009

Pembangunan Jakarta Tanpa Aspek Kesejahteraan

Kota Jakarta memerlukan desain pembangunan Kota Kesejahteraan atau Jakarta Welfare City.

Hal ini dikemukakan oleh Wakil Ketua Komisi E DPRD Provinsi DKI Jakarta, Mansyur Sahrozi, sebagai rekomendasi pada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam rapat paripurna di Gedung DPRD DKI Jakarta, Senin, 11 Mei 2009.

Dia mengatakan, pembangunan Kota Jakarta berjalan biasa-biasa tanpa ada rancangan pembangunan kesejahteraan yang besar dan masif. Selain itu tidak ada rancangan pembangunan kesejahteraan yang besar.

Titik utama pembangunan Kota Jakarta lebih terrlihat dari aspek materialnya saja. "Pembangunan Jakarta identik dengan busway, BKT, gedung-gedung besar dan mewah," kata Mansyur.

Mansyur menambahkan dari program pembangunan yang ada hanya ada empat program yang berkaitan langsung dengan bidang kesejahteraan yaitu penyelenggaran pendidikan, pelayanan kesehatan bagi warga miskin, serta penanggulangan DBD dan TBC.

"Minimnya perhatian bidang kesra dalam program dedikasi dan bentuk program yang biasa-biasa saja merupakan cermin dari tidak adanya desain pembangunan kota kesejahteraan," tukasnya.

Menurut Mansyur, Pemprov DKI Jakarta perlu melakukan penambahan perhatian pada bidang kesra dalam program dedicated program gubernur.

Sebab dari 17 program dedicated yang ada hanya ada 4 poin yang berkaitan langsung dengan bidang kesra.

Hal ini menurut Mansyur bisa dilakukan melalui pengaktivasian program Sister City dan kerjasama lainnya.

Sebab saat ini berbagai program kerjasama seperti Sister City banyak yang tidak aktif.

"Karena itu pengaktivasian perlu dilakukan untuk memperkuat dukungan anggaran bagi pembangunan kesra," lanjutnya.

Selain itu, kerjasama-kerjasama internasional perlu diarahkan parda program-program kesra. Sebab selama ini kerjasama tersebut dinilainya lebih mengarah pada proyek-proyek mercusuar seperti BKT, Busway dan MRT.

Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo membantah tidak ada program kesejahteraan masyarakat dalam rencana pembangunan jangka menengah Provinsi DKI Jakarya.

Menurut Fauzi Bowo, rekomendasi DPRD DKI Jakarta tidak sesuai dengan data dan fakta yang ada.

Fauzi Bowo mengklaim selama tahun 2008 angka keluarga miskin di Jakarta berkurang. Bahkan indeks pembangunan manusia di Jakarta lebih baik dari tahun 2007.

Sumber :
Maryadie, Lutfi Dwi Puji Astuti
http://metro.vivanews.com/news/read/56726-pembangunan_jakarta_tanpa_aspek_kesejahteraan
11 Mei 2009