Rabu, 02 Desember 2009

Daerah Khusus Ibukota Jakarta


Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta, Jakarta Raya) adalah ibu kota negara Indonesia, dalam etnis Tionghoa, kota ini juga dikenal dengan Ya Jia Da (雅加达). Kota ini merupakan satu-satunya di Indonesia yang memiliki status setingkat provinsi. Jakarta terletak di bagian barat laut Pulau Jawa. Dahulu pernah dikenal dengan nama Sunda Kelapa/Kalapa (sebelum 1527), Jayakarta (1527-1619), Batavia (1619-1942), dan Djakarta (1942-1972).

Pada tahun 2004, luasnya adalah sekitar 740 km²; dan penduduknya berjumlah 8.792.000 jiwa[2]. Jakarta bersama metropolitan Jabotabek dengan penduduk sekitar 23 juta jiwa merupakan wilayah metropolitan terbesar di Indonesia atau urutan keenam dunia. Kini wilayah Jabotabek telah terintegrasi dengan wilayah Bandung Raya, di mana megapolis Jabotabek-Bandung Raya mencakup sekitar 30 juta jiwa, yang menempatkan wilayah megapolis ini di urutan kedua dunia, setelah megapolis Tokyo.

Saat ini pintu masuk internasional Jakarta dapat melalui Bandara Soekarno-Hatta dan Pelabuhan Tanjung Priok. Sejak tahun 2004 di bawah kepemimpinan gubernur Sutiyoso, Jakarta memiliki moda transportasi terpadu, yang dikenal dengan Transjakarta. Selain istana negara, Jakarta juga merupakan kantor pusat Bank Indonesia dan Bursa Efek Indonesia.


Geografi

Jakarta berlokasi di pesisir utara pulau Jawa, di muara sungai Ciliwung, Teluk Jakarta. Jakarta terletak di dataran rendah pada ketinggian rata-rata 8 meter d.p.l. Hal ini mengakibatkan Jakarta sering dilanda banjir. Selatan Jakarta merupakan dataran tinggi yang dikenal dengan daerah Puncak. Jakarta dialiri oleh 13 sungai yang kesemuanya bermuara ke Teluk Jakarta. Sungai yang terpenting ialah Ciliwung, yang membelah kota menjadi dua. Sebelah timur dan selatan Jakarta berbatasan dengan provinsi Jawa Barat dan disebelah barat berbatasan dengan provinsi Banten.

Kepulauan Seribu, sebuah kabupaten administratif, terletak di Teluk Jakarta. Sekitar 105 pulau terletak sejauh 45 km (28 mil) sebelah utara kota.


Iklim

Jakarta memiliki suhu udara yang panas dan kering atau beriklim tropis. Terletak di bagian barat Indonesia, Jakarta mengalami puncak musim penghujan pada bulan Januari dan februari dengan rata-rata curah hujan 350 milimeter (14 inchi)dengan suhu rata-rata 27 °C,curah hujan antara bulan januari dan awal februari sangat exterm pada saat itulah jakarta dilanda banjir setiap tahunya , dan puncak musim kemarau pada bulan Agustus dengan rata-rata curah hujan 60 milimeter (2,4 inchi) bulan september dan awal oktober adalah hari-hari yang sangat panas di jakata suhu udara dapat mencapai 40 °C .[3]. Suhu rata-rata tahunan berkisar antara 25°-38 °C (77°-100 °F).[4]


Etimologi

Nama Jakarta dianggap sebagai kependekan dari kata Jayakarta. Nama ini diberikan oleh orang-orang Demak dan Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah (Faletehan) setelah merebut pelabuhan Sunda Kelapa dari Kerajaan Sunda pada tanggal 22 Juni 1527. Nama ini biasanya diterjemahkan sebagai kota kemenangan atau kota kejayaan, namun sejatinya artinya ialah "kemenangan yang diraih oleh sebuah perbuatan atau usaha" dari bahasa Sansekerta jayakṛta (Dewanagari जयकृत). Nama lain atau sinonim "Jayakarta" pada awal adalah "Surakarta".[5]


Nama Lain Jakarta

Batavia (nama kolonial Belanda), Betawi (ejaan lain Melayu, Indonesia), Sunda Kelapa (nama asli), Cakarta (Turki), Djakarta (ejaan lama Indonesia, Perancis, Jerman, Romania), Dzhakarta - Джакарта (Rusia), Džakarta (Serbia, Kroasia), Dżakarta (Polandia), Dzsakarta (Hungaria), Giacarta (Italia), Iacárta (Irlandia), Jacarta (Portugis), Jakaruta - ジャカルタ (Jepang), Jagatara - ジャガタラ (Jepang [arkais]), Τζακάρτα (Yunani), ჯაკარტა (Georgia), Yakarta (Spanyol), Yǎ Jìa Dá (baca: Yǎcìatá) - 雅加达 (Tionghoa).

Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_Khusus_Ibukota_Jakarta

Sumber Gambar:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj4HdrawwZvAwGQ06F-BImKm6a6kBTmEjUgRc9ecAMTmKfjAW8u5W7x6h5NENF5lTuO6Vz7iNUyvPOdmVLlmgoh1Y_UoPJHmqWzN-2_8wRzIWfJm7-gcSc6fGrzrzmJAlyfVy8fANkL3wxo/s400/traffice-jakarta.jpg


Peta Jakarta


View Larger Map

Bisakah Jakarta Bebas Banjir?

Bagi warga Jakarta khususnya dan penduduk Indonesia umumnya , Januari identik dengan “hujan setiap hari” atau Desember sering diasosiasikan dengan “gede-gedenya sumber (air)”. Ini cukup beralasan karena pada bulan-bulan itulah biasanya terjadi puncak siklus musim hujan di Indonesia dan wilayah ibukota tertutup genangan air.

Bahkan menurut prakiraan Badan Klimatologi, Meteorologi dan Geofisika (BKMG) curah hujan masih tinggi hingga bulan Februari bahkan mungkin Maret. Awal hingga pertengahan Februari 2009 akan menjadi puncak musim hujan.

Jika hujan turun berhari-hari yang terbayang di mata warga Jakarta terutama yang tinggal di bantaran kali Ciliwung dan kawasan-kawasan rawan banjir lainnya, adalah luapan air yang akan merendam rumah mereka selama berhari-hari.

Di saat seperti ini, orang lalu teringat pada Bendung Katulampa di Bogor, Pos Pengamat Ketinggian Air di Depok, Pintu Air Manggarai, Pintu Air Sunter di mana ketinggian muka air diukur, banjir kiriman, perahu karet, tenda darurat juga nasi bungkus.

Anehnya, meski banjir berulang setiap tahun, warga khususnya yang bermukim di daerah aliran sungai tidak bersedia direlokasi, mereka menganggap banjir itu sudah lumrah dan memiliki loteng di rumahnya untuk mengungsi, kemudian menunggu bantuan datang.

Walau mungkin sudah berganti-ganti generasi, tanggapan warga tetap sama dan ini agaknya bisa dipahami jika merujuk catatan yang dihimpun Tempointeraktif, ternyata Jakarta mempunyai cerita panjang soal banjir. Banjir besar pernah melanda Jakarta sejak masih bernama Batavia tahun 1621 kemudian berulang pada 1654, 1918, 1942, 1976, 1996, 2002 dan tentu saja yang paling mudah diingat banjir yang terjadi tahun 2007.

Banyak penyebab mengapa banjir menjadi sangat akrab dengan ibukota ini. Dataran Jakarta lebih rendah dari permukaan laut, juga 13 sungai yang melintasi wilayah ini. Kondisi itu diperparah oleh sistem drainase yang buruk, menumpuknya sampah dan sungai yang makin menyempit karena tepiannya dijadikan perumahan penduduk.

Kali Ciliwung, satu diantara sungai yang dulu pernah bermanfaat bagi masyarakat sebagai sumber air bersih, sarana transportasi, pembudidayaan ikan atau pertanian, kini jika musim hujan tiba berubah menjadi penyebab bencana.

Suatu Penelitian Neraca Keseimbangan Lingkungan Hidup Daerah tahun 2006; menunjukkan, Jakarta yang mempunyai luas wilayah 661,62 km2 di mana 609,61 km2 atau 91,99 persen sudah terbangun, hanya memiliki 18.180 ruang hijau terbuka (RTH) untuk menyerap air ke dalam tanah.

Akibatnya, selain setiap musim hujan air tak tertampung dan menggenagi sebagian besar wilayah Jakarta, juga tak dapat menyimpan cadangan air yang diperlukan di setiap musim kering/kemarau.

Untuk mengantisipasi datangnya banjir pada musim ini, Pemda DKI telah siap dengan aksi terpadu yang melibatkan berbagai instansi yang dikoordinasi oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Di lima wilayah DKI telah dibangun dapur umum yang setiap hari dapat menyiapkan 5.000 nasi bungkus.

Kalau menyimak rentetan kejadian yang nyaris berulang, tentu sering terpikir adakah cara yang dapat mengatasi bencana banjir seperti ini? Bisakah Jakarta terbebas dari genangan air? Atau haruskah kita berpikir bagaimanakah mengubah air bah ini dari sumber bencana menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi warga?


Mengatasi Banjir

Usaha untuk mengatasi agar Jakarta tak kebanjiran sudah pula dilakukan sejak lama. Berdasarkan catatan sejarah, penguasa Belanda (tahun 1920) Van Breen membangun kanal yang mengitari kota bagian barat untuk membuang limpahan air ke laut Jawa.

Saluran yang dibangun tahun 1922 ini masih berfungsi hingga sekarang, yaitu yang kita kenal sebagai Pintu Air Manggarai. Inilah yang kemudian disebut Banjir Kanal Barat. Van Breen kemudian merancang saluran Kanal Timur yang berhulu di Kali Cipinang dan bermuara di laut Jawa.

Ide ini agaknya kemudian mengilhami Presiden Megawati yang berecana membangun Banjir Kanal Timur (BKT), sepanjang 23 km membentang dari kali Cipinang ke laut Jawa dengan lebar antara 100-300 meter. Menurut rencana BKT selesai tahun 2010.

Namun persoalan-persoalan pelik yang membelit pembangunan BKT, seperti pembebasan tanah warga, membuat pembangunan BKT ini tersendat-sendat.

Banyaknya sampah di sungai menjadi salah satu penyebab banjir. Pemerintah DKI Jakarta harus mengangkat 600 m3 sampah sungai setiap kali banjir datang pada tahun lalu.
 
Upaya membangkitkan kesadaran masyarakat yang tinggal di daerah aliran sungai untuk lebih mencintai lingkungan, meski sangat sulit sebaiknya terus dilakukan dengan berbagai pendekatan. Memberikan pengetahuan untuk mengolah sampah menjadi barang bermanfaat, agaknya dapat membantu merubah kebiasaan membuang sampah ke sungai.

Prinsip-prinsip membangun alam yang ramah lingkungan yang dikenal dengan 3 Reduce, Reuse dan Recycle, secara bertahap lebih diintensifkan. Reduce, berarti mengurangi sampah, warga bisa membawa tempat makanan sendiri saat membeli makanan di warang jika dibawa pulang, atau membawa minuman dalam botol minum daripada membeli air dalam botol kemasan.

Reuse, artinya menggunakan kembali barang-barang bekas, misalnya ember atau kaleng untuk pot. Terakhir Recyle, mendaur ulang; misalnya sampah dapur dan daun dijadikan kompos, kemasan plastik minyak goreng, minuman instan dan lain-lain dapat dijadikan tas yang cantik dan trendi.

Usaha memindahkan penduduk yang tinggal di daerah aliran sungai juga bukan perkara mudah. Tipis kepedulian dan kesadaran warga bahwa sebenarnya keberadaan pemukiman penduduk di bantaran kali dapat menghambat arus sungai ke muara, sehingga air melimpah ke sisi sungai.

Sekalipun ada tawaran untuk pindah ke rumah susun misalnya, alasan klasik selalu muncul. Dana yang tak cukup untuk menyewa rumah atau letaknya jauh dari tempat mencari nafkah dan sederet dalih lainnya. Pendek kata, mereka lebih suka kebanjiran daripada dipindahkan.

Kesadaran warga untuk menyayangi lingkungan perlu terus dikobarkan. Membersihkan saluran air harus dilakukan setiap hari, tak perlu menunggu hujan turun. Membuang sampah atau memafaatkan sampah yang ada agar menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat harus terus digalakkan.

Ketika proyek BKT tak kunjung rampung, warga langganan banjir lebih suka menunggu bantuan atau antri di dapur umum untuk mendapatkan jatah nasi bungkus sementara kesadaran untuk membuang sampah di tempat seharusnya tak kunjung tiba dan mereka terus memperluas areal pemukiman di bantaran kali, maka impian Jakarta bebas genangan air, akan semakin jauh dari kenyataan. (agus sb/id)

Sumber :
http://blogs.depkominfo.go.id/bip/2009/01/22/bisakah-jakarta-bebas-banjir/
22 Januari 2009

Penduduk DKI Jakarta Berkurang


Penduduk Jakarta Selatan dan Pusat dalam jangka waktu 10 tahun mengalami penurunan sebesar 15% (Jak-Sel) dan 21% (Jak-Pusat), sedangkan wilayah Jakarta lainnya mengalami kenaikan jumlah penduduk yang besarnya bervariasi. Secara keseluruhan penduduk Provinsi DKI Jakarta menurun 1% dalam kurun waktu 10 tahun ini.

Dari kacamata awam, sepertinya fakta dari data ini kurang benar karena DKI Jakarta sebagai ibukota negara, pusat ekonomi dan perdagangan, dan pusat informasi dan hiburan masih merupakan primadona para pencari pekerjaan yang makin hari makin bertambah saja baik dari penduduk DKI sendiri ataupun dari luar provinsi DKI.

Sebagian orang menganggap data podes (terutama jumlah penduduk) bukan merupakan statistik yang dipercaya. Jumlah penduduk di Podes berasal dari informasi Kepala Lurah/Sekretaris Kelurahan berdasarkan data catatan di kelurahan. Memang patut dipertanyakan bagaimana mereka update data tersebut tiap waktu.

Tetapi dari hasil grafik diatas, mungkin ada sesuatu yang mungkin ada benarnya. DKI Jakarta luas wilayahnya tidak berubah, urbanisasi sangat tinggi di DKI. Akibatnya pendatang harus memiliki tempat tinggal. Jika pola ini terus-menerus terjadi, maka tempat tinggal akan makin sulit ditemukan di DKI.

Pemerintah dan swasta pasti melihat fenomena ini, sehingga direspon dengan salah satunya pembuatan jalur trasportasi dan penambahan alat transportasi yang dapat menghubungkan antar wilayah termasuk dengan wilayah di luar DKI seperti Tangerang, Bekasi, Depok dan Bogor. Ibaratnya air yang terus menerus masuk ke bak mandi, maka kalau penuh akan luber keluar juga. Maka terjadilah perpindahan penduduk ke luar DKI ke daerah sekeliling DKI atau sering juga disebut daerah penyangga.

Dari grafik tersebut dapat terlihat bahwa hampir semua daerah penyangga penduduknya bertambah cepat. Jadi mungkin saja fakta dari data Podes ini ada benarnya walaupun kita masih belum nyakin dengan kebenaran data tersebut. Jika datanya pakai data valid, jangan-jangan lebih dari 1% berkurangnya penduduk DKI dalam 10 tahun ini. Ingat ini penduduk yang tinggal di DKI bukan cari uang di DKI!

Sumber :
http://podes.blogspot.com/2006/09/penduduk-dki-jakarta-berkurang.html
22 September 2006

35-40 Persen Penduduk Jakarta Butuh Subsidi Kesehatan

Sekitar 35 persen hingga 40 persen dari sekitar 9 juta penduduk DKI Jakarta, mengalami masalah biaya kesehatan, sehingga membutuhkan subsidi pemerintah. 

Menurut Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta, Chalik Masulili, keluarga miskin (gakin) di Jakarta tercatat sebanyak 542.000 jiwa hingga akhir 2004. Sedangkan warga tidak mampu jumlahnya sekitar 700.000 jiwa pada akhir 2004.

"Tahun ini, kami akan menyelesaikan data warga miskin sesuai hasil survei di lapangan. Kemungkinan jumlahnya bisa lebih banyak lagi karena sekitar 35 sampai 40 persen penduduk DKI memiliki masalah biaya kesehatan," kata Chalik, di Jakarta, Rabu (2/1).

Dia mengatakan, jumlah keluarga miskin di Jakarta yang didata Dinkes DKI melebihi data Badan Pusat Statistik (BPS) yang hanya sebanyak 270.000 jiwa pada akhir 2004 sehingga subsidi kesehatan untuk 266.000 warga miskin dibiayai sendiri oleh Pemda DKI Jakarta.

Chalik mengungkapkan, perbedaan data warga miskin tersebut, disebabkan Dinkes DKI mendata sendiri jumlah warga miskin di Jakarta untuk diberikan Kartu Gakin. Selain itu, Dinkes juga terus mendata jumlah warga yang berobat dengan menggunakan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), agar subsidi yang diberikan pemerintah tepat guna.

"Ternyata hasil di lapangan, jumlah warga miskin yang kami data lebih banyak dari data BPS. Ini yang sedang kami upayakan supaya datanya bisa difinalisasi tahun ini agar warga miskin bisa segera memperoleh Kartu Gakin," ujar Chalik.

Dia mengungkapkan, untuk 2005, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menyediakan subsidi kesehatan untuk warga miskin Rp 100 miliar. Sedangkan dari kompensasi BBM, subsidi yang diberikan sekitar Rp 14 miliar.

Chalik menambahkan, besarnya subsidi kesehatan yang disediakan Pemprov DKI untuk warga miskin, dimaksudkan agar penanganan kesehatan warga miskin betul-betul sampai kepada yang membutuhkan. "Caranya, kalau belum punya Kartu Gakin, warga bisa menggunakan SKTM yang disertai bukti kepemilikan KTP DKI," katanya.

Tetap Berlaku
Chalik juga mengatakan, meski Menteri Kesehatan (Menkes) telah mengeluarkan keputusan tentang pelayanan kesehatan melalui PT Asuransi Kesehatan (Askes), namun Kartu Gakin dan SKTM tetap berlaku di seluruh rumah sakit di DKI.

"Kami sudah mendapat persetujuan dari Menkes bahwa di DKI pelayanan kesehatan untuk warga miskin menggunakan sistem sendiri, yakni Kartu Gakin dan SKTM. Jadi Kartu Gakin dan SKTM tetap berlaku dan harus dilayani," kata Chalik.

Sementara anggota Komisi E DPRD DKI, Syamsidar Siregar mengatakan, Dinkes DKI harus menyosialisasikan hal itu kepada masyarakat dan RS di Jakarta. Pasalnya, sejumlah warga miskin mengeluhkan masih ditagih bayaran dari RS, walaupun sudah menunjukkan Kartu Gakin atau SKTM.

"Dari hasil kunjungan kami ke beberapa RS Februari lalu, ada pasien yang tetap membayar walaupun punya SKTM. Katanya, pihak rumah sakit menagih bayaran dengan alasan hanya pemegang Kartu Askes yang tidak membayar," ujar Syamsidar.

Terkait dengan itu, lanjutnya, Pemprov DKI harus bekerja sama dengan seluruh jajaran sampai tingkat kelurahan agar warga dapat mengetahui fungsi Kartu Gakin dan SKTM. Hal itu juga harus disosialisasikan kepada RS agar dapat melayani warga miskin dan tidak memungut bayaran.

Ditambahkan, pendataan warga miskin yang nantinya diberi Kartu Gakin juga harus dilakukan dengan teliti sehingga penyaluran subsidi kesehatan betul-betul dinikmati warga miskin.

Tangerang
Pasalnya, dari Hasil survei Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) pada tahun 2003-2004, dari 1.826 responden, masyarakat miskin yang memiliki Kartu Gakin kurang dari 10 persen.

Di tempat terpisah, juru bicara Pemkab Tangerang, Achmad Djabir mengatakan, untuk program kompensasi BBM bidang kesehatan, Dinas Kesehatan menjadi pelaksana program Asuransi Kesehatan (Askes) bagi sekitar 246.000 jiwa warga miskin di kabupaten itu.

Dinas Kesejahteraan Sosial menjadi pelaksana serta pengendali dalam pengucuran pangan murah atau beras untuk orang miskin (raskin) bagi para keluarga miskin.

Kepala Dinkesos, Subarnas, menyebutkan, untuk delapan bulan pertama didistribusikan sebanyak 11.528 ton/ bulan.

Sedangkan program kompensasi kenaikan BBM yang dikendalikan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan adalah pemberian beasiswa bagi para anak didik dari keluarga tak mampu. Hal itu diputuskan dalam rapat gabungan Muspida Kabupaten Tangerang.

Rapat itu juga merumuskan tiga masalah pascapenyesuaian harga BBM yang harus diantisiapasi, yaitu keresahan masyarakat, kelangkaan bahan bakar, terutama minyak tanah dan solar, serta antisipasi masalah kenaikan tarif angkutan umum agar tidak menimbulkan gejolak di antara masyarakat pelaku usaha transportasi maupun pengguna jasa perhubungan.

Menurut Djabir, Dinas Perhubungan dalam waktu dekat bakal mengumpulkan pelaku usaha angkutan berikut organisasi tempat mereka bernaung guna mencari titik temu dalam menyikapi masalah yang mungkin timbul pascakenaikan BBM. (132/J-6)

Sumber:
http://www.suarapembaruan.com/News/2005/03/03/index.html

05Mar2005 dalam :

http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1109905161,95886,

Jumlah Penduduk Miskin di Jakarta Menurun

Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta menyatakan terjadi penurunan jumlah penduduk miskin di Jakarta untuk tahun 2009 sebanyak 56,4 ribu orang menjadi 323,2 ribu orang (3,62 persen).

"Selama tiga tahun terakhir terjadi kecenderungan penurunan jumlah penduduk miskin di Jakarta," ujar Kepala BPS DKI Agus Suherman di Jakarta.

Pada tahun 2008, jumlah penduduk miskin Jakarta adalah sebanyak 379,6 ribu orang (4,28 persen) dan pada tahun 2007 adalah sebanyak 405,7 ribu (4,5 persen) dan jumlah tertinggi penduduk miskin Jakarta adalah pada 2006 yakni sebanyak 407,1 ribu orang (4,6 persen).

Menurut Agus, jumlah tersebut merupakan imbas dari kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sebanyak dua kali pada tahun 2005, karena jumlah penduduk miskin pada tahun 2005 adalah sebanyak 316,2 ribu orang.

"Imbas kenaikan BBM terhadap peningkatan angka kemiskinan mencapai puncaknya pada tahun 2006," jelasnya.

Sementara garis kemiskinan atau rata-rata pengeluaran perkapita perbulan selalu mengalami peningkatan tiap tahunnya, dimana untuk tahun 2009 angka garis kemiskinan tersebut adalah Rp316.936, mengalami peningkatan dari tahun 2008 yang sebesar Rp290.268.

"Garis kemiskinan selalu menunjukkan peningkatan setiap tahun terkait dengan angka inflasi dan pola konsumsi masyarakat," kata Agus.

Sementara untuk Rumah Tangga Sasaran (RTS), jumlahnya mengalami peningkatan dari 160.480 RTS pada 2005 menjadi 180.660 pada 2008.

"Jumlah ini berbeda dengan jumlah penduduk miskin karena memperhitungkan juga jumlah penduduk hampir miskin," terangnya.

Penghitungan RTS adalah untuk menyediakan database untuk penerima program pemerintah pusat maupun daerah seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Beras Miskin (Raskin), maupun Jaminas Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).

Penentuan RTS tersebut menggunakan 14 kriteria yaitu luas lantai bangunan tempat tinggal, jenis lantai bangunan tempat tinggal terluas, jenis dinding bangunan tempat tinggal terluas.

Fasilitas tempat buang air besar, sumber air minum, sumber penerangan utama, jenis bahan bakar untuk memasak sehari-hari, konsumsi daging/ayam/susu dalam satu minggu, makan dalam sehari untuk setiap anggota rumah tangga, pembelian pakaian baru untuk setiap anggota/sebagian anggota rumah tangga dalam setahun.

Selanjutnya kemampuan membayar untuk berobat ke puskesmas/poliklinik, lapangan pekerjaan utama kepala rumah tangga, pendidikan tertinggi yang ditamatkan kepala rumahtangga, pendidikan tertinggi yang ditamatkan kepala rumah tangga dan kepemilikan aset/tabungan.

Penyebaran RTS di wilayah Jakarta adalah terbanyak di Jakarta Utara sebanyak 54.827 RTS, disusul oleh Jakarta Timur 50.856 RTS, Jakarta Barat 37.194 RTS, Jakarta Pusat 26.531, Jakarta Selatan 10.601 RTS dan Kepulauan Seribu 651 RTS.(B8).

Sumber :

http://www.fauzibowo.com/berita.php?id=1825

7 November 2009

Pembangunan Jakarta Tanpa Aspek Kesejahteraan

Kota Jakarta memerlukan desain pembangunan Kota Kesejahteraan atau Jakarta Welfare City.

Hal ini dikemukakan oleh Wakil Ketua Komisi E DPRD Provinsi DKI Jakarta, Mansyur Sahrozi, sebagai rekomendasi pada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam rapat paripurna di Gedung DPRD DKI Jakarta, Senin, 11 Mei 2009.

Dia mengatakan, pembangunan Kota Jakarta berjalan biasa-biasa tanpa ada rancangan pembangunan kesejahteraan yang besar dan masif. Selain itu tidak ada rancangan pembangunan kesejahteraan yang besar.

Titik utama pembangunan Kota Jakarta lebih terrlihat dari aspek materialnya saja. "Pembangunan Jakarta identik dengan busway, BKT, gedung-gedung besar dan mewah," kata Mansyur.

Mansyur menambahkan dari program pembangunan yang ada hanya ada empat program yang berkaitan langsung dengan bidang kesejahteraan yaitu penyelenggaran pendidikan, pelayanan kesehatan bagi warga miskin, serta penanggulangan DBD dan TBC.

"Minimnya perhatian bidang kesra dalam program dedikasi dan bentuk program yang biasa-biasa saja merupakan cermin dari tidak adanya desain pembangunan kota kesejahteraan," tukasnya.

Menurut Mansyur, Pemprov DKI Jakarta perlu melakukan penambahan perhatian pada bidang kesra dalam program dedicated program gubernur.

Sebab dari 17 program dedicated yang ada hanya ada 4 poin yang berkaitan langsung dengan bidang kesra.

Hal ini menurut Mansyur bisa dilakukan melalui pengaktivasian program Sister City dan kerjasama lainnya.

Sebab saat ini berbagai program kerjasama seperti Sister City banyak yang tidak aktif.

"Karena itu pengaktivasian perlu dilakukan untuk memperkuat dukungan anggaran bagi pembangunan kesra," lanjutnya.

Selain itu, kerjasama-kerjasama internasional perlu diarahkan parda program-program kesra. Sebab selama ini kerjasama tersebut dinilainya lebih mengarah pada proyek-proyek mercusuar seperti BKT, Busway dan MRT.

Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo membantah tidak ada program kesejahteraan masyarakat dalam rencana pembangunan jangka menengah Provinsi DKI Jakarya.

Menurut Fauzi Bowo, rekomendasi DPRD DKI Jakarta tidak sesuai dengan data dan fakta yang ada.

Fauzi Bowo mengklaim selama tahun 2008 angka keluarga miskin di Jakarta berkurang. Bahkan indeks pembangunan manusia di Jakarta lebih baik dari tahun 2007.

Sumber :
Maryadie, Lutfi Dwi Puji Astuti
http://metro.vivanews.com/news/read/56726-pembangunan_jakarta_tanpa_aspek_kesejahteraan
11 Mei 2009

Arah Pembangunan Jakarta Tidak Jelas

Kegiatan Pembangunan di Provinsi DKI Jakarta sudah tidak mengindahkan lagi tata ruang sehingga banyak ruang terbuka hijau yang seharusnya tetap dipertahankan kini menjadi bangunan. “Kondisi Ruang Terbuka Hijau (RTH) DKI baru di bawah 10 persen, target Gubernur DKI sendiri hanya mampu 13,9 persen, padahal target nasional 30 persen,” kata pakar planologi perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna di Jakarta, Senin.

Seharusnya katanya, kalau mengikuti UU Penataan Ruang, pemerintah provinsi DKI Jakarta dapat dikenakan sanksi karena tidak memenuhi target RTH, Gubernur bahkan menyatakan, target RTH 13,9 persen untuk DKI hanya mimpi. “Kondisi ini menunjukkan tidak adanya pengendalian ruang di DKI Jakarta, sebagai contoh kawasan TB Simatupang yang seharusnya menjadi green belt (sabuk hijau) Jakarta kini berubah fungsi menjadi perkantoran,” ujar Yayat di Jakarta, Senin.

Yayat juga memaparkan jajak pendapat yang dimuat di Kompas menujukkan tiga hal yang buruk dari kota Jakarta kualitas udara, kondisi jalan, dan kebersihan. Kemudian dari survai Ecosoc 2007 memperlihatkan 36,8 responden mengatakan kondisi Jakarta buruk, serta 27,9 persen menyebutkan tidak ada perubahan di kota Jakarta.

Sementara Guru Besar Departemen Arsitektur UI, Prof.Ir.Gunawan Tjahjono, M.Arch PhD mengatakan, rendahnya pengendalian ruang di DKI karena pejabat yang berwenang hanya diisi ahli hukum. “Padahal bidang ini tidak semata-mata diawasi orang yang paham hukum, akan tetapi juga orang yang paham dampak dari pembangunan yang menyalahi tata ruang,” ujarnya.

Gunawan mempertanyakan, kebijakan tata ruang yang diberlakukan di DKI Jakarta karena sebenarnya sudah banyak sekali terjadi penyimpangan. Bahkan kalau perlu selain dibuat master plan juga ada sub plan tetapi berkesinambungan.

Pada tahun 2000, lima tahun sebelum masa rencana tata kota habis (1985-2005), pemerintah DKI Jakarta meluncurkan masterplan baru 2000 – 2010. Ada masa lima tahun (2000-2005) yang dikoreksi pada rencana tata kota 2000 – 2010. Namun, rencana tata ruang wilayah yang sekarang, yaitu 2010-2030, malah terlambat muncul, dan tampaknya tenggat masterplan 2010-2030 pada masa jabatan Dewan periode 2004-2009 akan terlewati.

Dia juga mengkhawatirkan dengan banyak disetujui pembangunan super blok yang dapat mengurangi kemacetan lalulintas, namun yang terjadi justru sebaliknya. Green roof yang disebut-sebut dapat memenuhi kebutuhan 30 persen RTH juga akan sulit diterapkan, untuk membuat atap untuk tanaman tidak mudah, harus dirancang sejak awal. Gedung-gedung yang sedang dibangun saat ini sebagian besar tidak mengadopsi sistem tersebut, ujarnya.

Transparansi atas Tata Ruang Kota dan audit sangat diperlukan untuk menemukan benarkah Kota Jakarta telah dibangun sesuai dengan Tata Ruangnya. Selain itu Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2000-2010 akan segera berakhir. Jakarta terancam tak punya rencana tata ruang. Repotnya, DPRD Jakarta yang akan habis masa kerjanya pun belum menyiapkan masterplan yang baru, seperti diamanatkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Pada usianya ke-482, Jakarta yang memiliki luas 650 Km2, semakin tua dan berantakan. Pergantian pemimpin, membuat berganti pula arah kebijakan pembangunan. Warna-warna peta Jakarta berubah-ubah, warna hijau semakin menghilang.

Jakarta semakin menjadi kota beton menakutkan dan diimbangi dengan penghamburan dana daerah yang terbilang besar dengan ditandai monumen-monumen dan beton-beton monorel yang terbengkalai. Kemacetan lalu lintas sudah semakin melumpuhkan gerak penduduk kota Jakarta.

Tidak itu saja, Jakarta yang terintegrasi dalam kawasan Jabodetabenpunjur (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur) merupakan wilayah metropolitan terbesar di Asia Tenggara serta merupakan wilayah megapolis urutan kedua dunia setelah megapolis Tokyo.

Namun tragisnya, ternyata Jakarta tidak memiliki arah pembangunan yang jelas. Banyak pembangunan, yang tidak merujuk pada rencana tata ruang kota yang benar dan menghadirkan inefisiensi, pemandangan yang tidak nyaman dan bahkan kenyamanan hidup dan bekerja di Ibukota.(*z/an)

Sumber :

http://matanews.com/2009/08/25/arah-pembangunan-jakarta-tidak-jelas/

25 Agustus 2009

Pembangunan Jakarta Harus Diubah

Orientasi pembangunan Kota Jakarta saatnya diubah dan jangan lagi dijadikan pusat belanja serta pusat industri dan perdagangan karena mengakibatkan perkembangan kota menjadi tidak terkendali.

"Seharusnya Jakarta dikembalikan fungsinya sebagai ibu kota negara dan pusat pengembangan riset," kata Mantan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup Emil Salim saat berbicara pada Sustainable Jakarta Convention 2009 di Jakarta, Selasa (10/11).

Emil Salim bahkan mengusulkan Jakarta sebaiknya dirancang ulang untuk menghindari masalah yang semakin besar, sebagai dampak pembangunan yang tidak terkendali.

Ia mengatakan, Jakarta saat ini harus fokus berbenah untuk menjadi kota jasa dan pusat pemerintahan yang ramah, sedangkan pertumbuhan pembangunan dialihkan ke sekitar kota- kota penyangga.

Menurutnya, pembangunan hunian bisa disebar ke daerah baru di Serang (Banten), Sukabumi, dan Purwakarta (Jawa Barat) dengan akses infrastruktur publik yang memadai. Pembangunan industri dan perdagangan juga harus dialihkan ke Cirebon, Karawang (Jawa Barat) atau Bojonegara (Banten) dengan fasilitas pelabuhan baru.

Pembangunan pusat belanja dan mal di pusat kota juga harus segera dihentikan dan dibangun jauh di luar Jakarta. "Itu yang dilakukan oleh Seoul di Korea Selatan untuk di aplikasikan di sini," ujarnya.

Pertemuan yang difasilitasi PT Holcim Indonesia Tbk dan Kadin Jaya itu menghadirkan pembicara Mantan Wali Kota Bogota Kolombia Enrique Penalosa dan Gubernur Jakarta Fauzi Bowo. (Ant/OL-01)

Sumber :

http://www.mediaindonesia.com/read/2009/11/11/105102/38/5/Pembangunan-Jakarta-Harus-Diubah

11 November 2009

Betawi dan Akar Sosial Budaya Jakarta

Fungsi yang demikian sarat, telah menjadikan Jakarta sebagai melting-pot. Tempat bertemu aneka suku bangsa, agama dan budaya. Ini nampak sangat nyata pada pertumbuhan dan perkembangan profil masyarakat Betawi. Dan setidaknya, sebuah karikatur yang menggambarkan sopir dan penumpang bajaj, menyajikan kenyataan itu.

"Pan udah gua bilang, kalo mau ilangin stres, kudu sering naar boven," kata si sopir bajaj. "Oke deh, ane reken isi dompet dulu. Bangsa goban sih ada," jawab si penumpang.

Nampak jelas dalam dialog itu. Ada unsur Bali (akhiran -in), Arab (ane - saya), Belanda (naar boven dan reken), Tionghoa (goban - lima puluh ribu), Jawa (kudu -harus), dan Inggris (stress). Namun secara gramatikal, dialek Batawi adalah salah satu logat dari bahasa Melayu, suatu bahasa di mana bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dikembangkan. Dalam pada itu, seorang anggota Dewan Pakar Lembaga Kebudayaan Betawi, Ridwan Saidi, sambil mengutip pendapat Bern Nothover (1995), mencatat bahwa, apa yang dikenal kini sebagai Bahasa Betawi adalah bahasa Melayu dialek Nusa Kalapa (bersama Pakuan merupakan dua kota penting pada jaman kerajaan Pajajaran di bawah Prabu Siliwangi yang kemudian namanya berganti menjadi Jakarta) yang telah dipergunakan di Jakarta paling sedikit sejak abad 10 (Babad Tanah Betawi, 2002). Penduduk Nusa Kalapa sendiri sebelum abad 10, sebagaimana halnya seluruh penduduk Nusa Jawa, besar kemungkinan berbahasa Kawi atau Jawi. Memang, tidak semua kosa kata Betawi lama berasal dari bahasa Kawi/Jawi, karena juga terdapat campuran bahwa Melayu Polinesia, dan kemudian pada abad 16 mendapat pengaruh Portugis, di samping juga pengaruh bahasan Sunda pada abad 14, ketika kekuasaan Sunda memfungsikan pelabuhan Kalapa, dan bahasa-bahasa lain pada masa-masa berikutnya.

Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing. Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Cina, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab, dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an.

Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa. Mereka adalah hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu. Diawali oleh orang Sunda, sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam Kerajaan Tarumanegara serta kemudian Pakuan Pajajaran. Selain orang Sunda, terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau Indonesia Timur, dari Malaka di semenanjung Malaya, bahkan dari Tiongkok serta Gujarat di India.

Waktu Fatahillah dengan tentara Demak menyerang Sunda Kelapa (1526/27), orang Sunda yang membelanya dikalahkan dan mundur ke arah Bogor. Sejak itu, dan untuk beberapa dasawarsa abad ke-16, Jayakarta dihuni orang Banten yang terdiri dari orang yang berasal dari Demak dan Cirebon. Sampai JP Coen menghancurkan Jayakarta (1619), orang Banten bersama saudagar Arab dan Tionghoa tinggal di muara Ciliwung. Selain orang Tionghoa, semua penduduk ini mengundurkan diri ke daerah kesultanan Banten waktu Batavia menggantikan Jayakarta (1619).

Pada awal abad ke-17 perbatasan antara wilayah kekuasaan Banten dan Batavia mula-mula dibentuk oleh Kali Angke dan kemudian Cisadane. Kawasan sekitar Batavia menjadi kosong. Daerah di luar benteng dan tembok kota tidak aman, antara lain karena gerilya Banten dan sisa prajurit Mataram (1628/29) yang tidak mau pulang. Beberapa persetujuan bersama dengan Banten (1659 dan 1684) dan Mataram (1652) menetapkan daerah antara Cisadane dan Citarum sebagai wilayah kompeni. Baru pada akhir abad ke-17 daerah Jakarta sekarang mulai dihuni orang lagi, yang digolongkan menjadi kelompok budak belian dan orang pribumi yang bebas. Sementara itu, orang Belanda jumlahnya masih sedikit sekali. Ini karena sampai pertengahan abad ke-19 mereka kurang disertai wanita Belanda dalam jumlah yang memadai. Akibatnya, benyak perkawinan campuran dan memunculkan sejumlah Indo di Batavia. Tentang para budak itu, sebagian besar, terutama budak wanitanya berasal dari Bali, walaupun tidak pasti mereka itu semua orang Bali. Sebab, Bali menjadi tempat singgah budak belian yang datang dari berbagai pulau di sebelah timurnya.

Sementara itu, orang yang datang dari Tiongkok, semula hanya orang laki-laki, karena itu mereka pun melakukan perkawinan dengan penduduk setempat, terutama wanita Bali dan Nias. Sebagian dari mereka berpegang pada adat Tionghoa (mis. Penduduk dalam kota dan 'Cina Benteng' di Tangerang), sebagian membaur dengan pribumi (terutama dengan orang Jawa dan membentuk kelompok Betawi Ora, mis: di sekitar Parung). Tempat tinggal utama orang Tionghoa adalah Glodok, Pinangsia dan Jatinegara.

Keturunan orang India -orang Koja dan orang Bombay- tidak begitu besar jumlahnya. Demikian juga dengan orang Arab, sampai orang Hadhramaut datang dalam jumlah besar, kurang lebih tahun 1840. Banyak diantara mereka yang bercampur dengan wanita pribumi, namun tetap berpegang pada ke-Arab-an mereka. Di dalam kota, orang bukan Belanda yang selamanya merupakan mayoritas besar, terdiri dari orang Tionghoa, orang Mardijker dari India dan Sri Lanka dan ribuan budak dari segala macam suku. Jumlah budak itu kurang lebih setengah dari penghuni Kota Batavia.

Orang Jawa dan Banten tidak diperbolehkan tinggal menetap di dalam kota setelah 1656. Pada tahun 1673, penduduk dalam kota Batavia berjumlah 27.086 orang. Terdiri dari 2.740 orang Belanda dan Indo, 5.362 orang Mardijker, 2.747 orang Tionghoa, 1.339 orang Jawa dan Moor (India), 981 orang Bali dan 611 orang Melayu. Penduduk yang bebas ini ditambah dengan 13.278 orang budak (49 persen) dari bermacam-macam suku dan bangsa. Sepanjang abad ke-18, kelompok terbesar penduduk kota berstatus budak. Komposisi mereka cepat berubah karena banyak yang mati. Demikian juga dengan orang Mardijker. Karena itu, jumlah mereka turun dengan cepat pada abad itu dan pada awal abad ke-19 mulai diserap dalam kaum Betawi, kecuali kelompok Tugu, yang sebagian kini pindah di Pejambon, di belakang Gereja Immanuel. Orang Tionghoa selamanya bertambah cepat, walaupun ribuan orang Tionghoa dibunuh pada tahun 1740 di dalam dan di luar kota.

Di luar kota pada tahun 1673 hidup kurang lebih lima ribu orang Indonesia dan kurang lebih enam ratus Indo-Belanda. Orang-orang Indonesia bebas datang ke Batavia, terutama dari luar Jawa, semisal Sulawesi Selatan, Banda, Ambon dan Bali. Di antara orang Indonesia itu beberapa diantaranya mencapai posisi cukup baik, misalnya para kapten yang sering memperoleh tanah luas, orang Bali yang mengimpor budak, pemilik kapal Bugis dan Melayu serta para mandor dari Jawa (pemahaman masa itu tentang orang Jawa sering mencakup orang dari Banten sampai Jawa Timur serta bahkan dari Kampung Jawa di Palembang) yang mendatangkan kuli-kuli untuk perkebunan tebu, bengkel kayu serta galangan kapal. Beberapa nyai termasuk juga kelompok orang berada. Nyanya Rokya misalnya, pada tahun 1816 memiliki dua puluh dua budak belian. Adapun tentang apa yang disebut dengan "orang" atau "Suku Betawi" sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, dan Melayu. Antropolog Univeristas Indonesia, Dr Yasmine Zaki Shahab MA menaksir, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893.

Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Casle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, di mana dikategorisasikan berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi.

Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moors, orang Jawa dan Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda, dan orang Melayu. Namun, pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu.

Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong. Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Mohammad Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi. Simpul terakhr yang berpijak pada berita resmi Kolonial itu ditolak keras Ridwan Saidi. Alasan tokoh Betawi ini dilandaskan pada teori Bern Nothofer, jauh sebelum Belanda tiba di wilayah ini, antara abad 8-10, demi mempertahankan kekuasaannya, Kerajaan Sriwijaya atas tanah Nusa Kalapa telah menghadirkan migran Suku Melayu yang berasal dari Kalimantan Barat, yang juga sekaligus menjadi awal penyebaran secara meluas bahsa Melayu yang kemudian menjadi lingua franca di Kalapa menggeser kedudukan bahasa Sunda Kawi.

Selain itu, sejak masa Salakanagara, diduga muncul pada tahun 130 M, orang Nusa Kalapa sudah mulai mengenal masyarakat internasional melalui kedatangan para pelancong dari India, Cina dan Arab. Pengenalan meluas ketika pelabuhan Kapala menjadi pelabuhan samudra pada abad ke-14. Dan, pada abad ke-16 orang Betawimengenal orang Portugis, kemudian pada abad ke-17 mengenal orang Belanda dan pada permulaan abad ke-19 orang Betawi mengenal orang Perancis dan Inggris, serta sejak pertengahan abad ke-19 secara pro-aktif orang Betawi mengenal masyarakat internasional melalui pelayanan ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji.

Terlepas dari semua itu, sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta pada umumnya, dan Jakarta Pusat pada khususnya dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi - dalam arti apapun juga - tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, 'suku' Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Adapun di Jakarta Pusat, menurut Sensus tahun 2000, populasi penduduk dengan etnis Betawi ini masih cukup tinggi, mencapai 31,16 persen, tersebar di semua Kecamatan di Jakarta Pusat, dengan dominasi utama di Kecamatan Kemayoran dan Tanah Abang. Memang, sebagian dari ereka semakin telah terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Namun sebetulnya, 'suku' Betawi tidaklah pernah tergusur atau digusur dari Jakarta, karena proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah 'suku' Betawi hadir di bumi Nusantara.

Sumber :
http://www.bapekojakartapusat.go.id/node/14
6 September 2007

Indahnya Budaya Betawi di Pinggiran Jakarta

Bosan dengan mall, atau tempat-tempat hiburan yang biasa. Kita bisa mencoba wisata budaya. Tak kalah dengan wisata lain wisata ini murah, menarik, dan mendidik. Sekaligus kita juga berperan melestarikan budaya Indonesia khususnya budaya inti DKI Jakarta. DKI Jakarta merupakan ibu kota Indonesia dengan Betawi sebagai salah satu penduduk aslinya. Namun seiring perkembangan jaman, penduduk maupun budaya Betawi sendiri semakin terkikis dan terpinggirkan. Padahal seperti kita tahu, penduduk inti Jakarta adalah masyarakat Betawi. Untuk mencegah semakin lunturnya budaya ini, para sesepuh Betawi dan orang-orang yang perduli akan hal tersebut membicarakan permasalahan ini pada Pemda DKI. Agar nantinya generasi penerus atau putra-putri Betawi masih bisa mengenal dan mengetahui budaya nenek moyangnya. Pemda DKI Jakarta pun memberikan perhatian khusus terhadap persoalan ini. Maka dirintislah sebuah tempat sebagai wadah pelestarian dan pengembangan budaya Betawi secara berkesinambungan. Bernama Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan yang lokasinya di Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Srengseng Sawah tidak dipilih secara langsung untuk menjadi tempat pelestarian budaya ini. Semua melalui berbagai proses musyawarah dan setelah dikumpulkan berbagai pilihan dari berbagai wilayah di DKI seperti Rorotan, Kemayoran Srengseng Jakarta Barat, dan Condet. Akhirnya lewat sarasehan, seminar dan lokakarya maka dipilihlah Srengseng Sawah lewat SK Gubernur No. 9 tahun 2000.

Minggu pagi beberapa waktu lalu, saya penasaran dengan semua yang saya dengar mengenai Perkampungan Budaya Setu Babakan. Oleh sebab itu saya langsung meluncur ke sana. Tidak sulit untuk mencapai lokasi seluas 289 hektar ini. Untuk angkutan kita bisa menggunakan metromini 616 jurusan Blok M-Ps. Minggu-Cipedak. Atau angkutan umum bernomor 128 dari terminal Depok. Dan tinggal bilang sama supirnya untuk turun di Setu Babakan.

Sampai di Setu Babakan tempat yang dibangun sekitar pertengahan Oktober tahun 2000 ini. Kita akan di sambut dengan Gapura Besar bertuliskan ‘Pintu Masuk I Bang Pitung Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan’.

Nah, dari situ kita sudah mulai menemui rumah-rumah berarsitektur Betawi. Dan ternyata tak hanya warga Betawi yang boleh punya rumah di Perkampungan Setu Babakan pendatang pun boleh membeli tanah kemudian membangun rumah di sana, hanya saja karakteristik fisik bangunannya harus menyesuaikan dengan arsitektur Betawi.

Tak jauh dari pintu masuk ada sebuah gang di sebelah rumah besar. Masuk ke dalam gang tersebut memudahkan kita sampai ke arena wisata budaya ini. Di tengah areal tersebut akan kita temui panggung besar yang juga beraritektur Betawi. Di tempat tersebut kita bisa melihat berbagai pertunjukan kesenian Betawi seperti Pagelaran Seni Budaya Betawi setiap hari Minggu sekitar pukul 14.00-17.00 (Wib), Latihan Tari Betawi pada hari Minggu dan Jumat pagi, serta Rabu sore.

Seperti pagi itu saya menyaksikan beberapa anak kecil dan remaja bergantian menari tarian Betawi di panggung. Tari-tarian seperti Sirih Kuning, Nandak Ganjen, dan Lenggang Nyai di bawakan dengan apik oleh para peserta Sanggar Budaya Betawi Setu Babakan yang beranggotakan kurang lebih 500 anak-anak dan remaja .

Sebenarnya Setu Babakan dibangun bukan hanya sebagai tempat wisata, namun Bang Indra salah satu pengelola mengatakan, “Ini bukan semata-mata untuk tempat wisata aja, tapi framenya udah jelas. Yaitu daerah pariwisata berkarakteristik dan berbudaya betawi. Titik segede gentong. Nggak bisa ditawar lagi.”ujar Bang Indra menegaskan.

Setu Babakan yang dulunya merupakan bagian dari kampung Kalibata menawarkan tiga paket wisata, yakni Wisata Budaya, disini kita bisa menikmati pagelaran seni baik itu musik, tarian, maupun teater pada setiap hari minggu sekitar pukul 14.00-17.00 (Wib). Atraksi upacara maupun prosesi budaya seperti upacara pernikahan, sunatan, akekah, hatam quran, nujuh bulan, dan banyak lagi lainnya pada setiap tahun di Bulan Juli. Atau kita juga bisa sekedar melihat latihan anak-anak dan remaja menari maupun bermain silat. Selain itu deretan rumah-rumah khas betawi akan dengan mudah kita temui. Dan kita bisa menggunakannya sebagai tempat arisan, maupun pengajian. Lingkungannya yang asri juga membut banyak pengunjung datang untuk sekedar berpiknik bersama keluarga. Apalagi untuk masuk ke perkampungan budaya ini kita tidak perlu mengeluarkan biaya untuk tiket masuk. Pengunjung hanya dikenai biaya untuk parkir saja.

Kemudian yang tidak kalah menarik yaitu, Wisata Air. Setu Babakan dan Setu Mangga Bolang yang ada di situ disa dijadikan tempat memancing yang seru bersanma teman, keluarga bahkan pacar. Seperti saat saya ke sana. Deretan pengujung memadati hampir setiap pinggiran Setu. Ada yang sedang asik bermesaraan dengan pacar, sekedar ngobrol-ngobrol dengan teman se-gank, maupun yang sedang menyantap makanan bersama keluarga di atas tikar yang mungkin sengaja mereka siapkan dari rumah. Dan disana kita tidak perlu khawatir kelaparan. Deratan penjaja makanan sepanjang yang Setu Babakan seakan tidak berujung. Dan ini pun unik, karena di sini kita bisa menemui berbagai macam makanan khas Betawi. Dari mulai soto betawi, kerak telor, serabi, gado-gado, hingga semur jengkol pun tersedia di sini. Jadi kita tidak perlu berlama-lama menunggu Pekan raya Jakarta untuk menikmati semua makanan khas Betawi tersebut.

Untuk yang ingin menyusuri Setu pihak pengelola menyediakan sepeda air. Dengan tarif sebesar Rp. 8000,- kita bisa menikmati Setu Babakan di atas air. Ingin naik delman, disini juga ada lho. Tinggal negosiasi harga dengan pengemudi delman kita bisa berkeliling Setu dengan delman. Atau mungkin kita hanya ingin bersantai-santai menikmati pemandangan Setu Babakan. Kita bisa duduk di pingggir-pinggir Setu. Karena di sana disediakan bangku-bangku untuk duduk di pinggir Setu tersebut.

Selain dua jenis wisata tadi ditambah wisata kuliner tentunya. Ada satu lagi paket wisata yang ditawarkan tempat ini. Wisata Agro, uniknya di sini wisatawan tidak akan diajak ke perkebunan atau pertanian. Melainkan diajak pelataran rumah-rumah penduduk yang terdapat tanaman-tanama khas Betawi. Nantinya para wisatawan akan disambut dengan dipetikan buah sebagai tanda penghormatan. Jika wisatawan tertarik ingin memetik sendiri dan membawa pulang, tentunya ia harus membayar. Buah-buahan yang bisa dinikmati di Perkampungan Budaya Setu Babakan antara lain Belimbing, Rambutan, Buni, Jambu, Dukuh, Menteng, Gandaria, Mengkudu, Namnam, Kecapi, Durian, Jengkol, Kemuning dan banyak lagi, hingga buah langka seperti Krendang.

Dan Setu Babakan juga menyediakan pemandu untuk semua paket tersebut. Paket-paket wisata di tempat ini pun masih bisa di sesuaikan dengan keinginan si pengunjung. Begitu pula dengan biaya pemandu dan lainnya. Semua masih bisa dibucarakan dan belum ada standar yang baku untuk semua paket wisata ini.

Tapi selain berbagai paket wisata unik dan seru yang bisa kita jumpai di tempat ini. Ternyata Setu Babakan juga memiliki aturan khusus yang juga masih berakar pada Budaya Betawi. Diantaranya. Pengunjung diharapkan sudah meninggalkan lokasi mulai pukul 18.00 (Wib), karena menurut pengelola jika pengunjung masih di sini di atas pukul tersebut, bisa jadi niatnya sudah bukan lagi sebagai tempat berekreasi namun lebih ke hal-hal negatif. Kemudian yang unik lagi semua kegiatan di tempat ini di usahakan berhenti ketika terdengar suara adzan. “Yah, meskinpun cuma lima menit diusahain berenti dulu dah aktivitas kalo lagi adzan,” tutur Bang Indra. Dan di tempat ini sangat dilarang berjualan minuman keras.

Gimana seru kan? Di sini kita bisa mengenal berbagai kebudayaan Betawi, melihat tari-tarianya, musiknya, rumah-rumahnya. Sampai jajanan dan makanan khasnya. Dan yang menarik lagi kita tidak perlu merogoh kocek yang banyak untuk berwisata ke tempat ini. Wisata murah sekaligus mendidik dan melestarikan budaya rasanya patut dicoba

Sumber : 

Gita Amanda, Kompas dalam :

http://liburan.info/content/view/293/43/lang,indonesian/

Jakarta Kota Budaya dan Pariwisata

Nama baik Jakarta sebagai "Kota Wisata" berkembang cepat seiring dengan pertambahan sarana pariwisata baru, pusat-pusat hiburan, serta hotel dan restoran bertaraf internasional. Jakarta juga memiliki banyak tempat bersejarah dan warisan budaya. Pariwisata merupakan salah satu industri jasa yang pertumbuhannya paling cepat dan mempunyai banyak peluang untuk terus berkembang. Jakarta memiliki Convention Center baru yang anggun dengan ruangan berdaya tampung 3000 peserta. Dengan terus meningkatkan beragam sarana. Jakarta semakin dapat menarik perhatian dunia untuk menyelenggarakan acara-acara internaional yang bergengsi. Berbagai macam sarana dan prasarana yang dibangun di kota Jakarta menunjukan bahwa Pemerintah berusaha untuk mensejajarkan Jakarta dengan kota-kota besar lainnya di dunia.


Taman Impian Jaya Ancol

Inilah taman rekreasi yang paling ramai dan paling akrab dengan penduduk kota Jakarta dan kota – kota lain disekitarnya.Taman ditepi laut pantai Jakarta ini sering disebut Ancol saja.Berbagai macam bentuk hiburan baik untuk anak maupun orang tua terdapat dalam 522 hektar ini.Taman ancol termasuk taman rekreasi terlengkap di Asia.Tak jauh dari pintu masuk terdapat banyak pilihan diantaranya : Dufan, yang berisi berbagai jenis sarana permainan ; Gelanggang Samudera merupakan suasana alam terbuka, sekaligus melihat-lihat tingkah laku binatang-binatang, baik binatang air, burung atau binatang hutan lainnya yang dinikmati di arena dan hutan buatan, Gelanggang Renang, Pantai, Pasar Seni, Tempat Pemancingan dan masih banyak lagi.


Kebun Binatang Ragunan

Kebun binatang adalah untuk memelihara dan membiakan hewan yang hampir punah.Jadi bukan sekedar hanya memamerkan binatang.Lebih dari itu, menyelamatkan dan mengembangbiakan binatang-binatang yang diperkirakan akan punah bila tidak dipelihara.


Taman Ismail Marzuki

Adalah pusat kesenian dan kebudayaan Indonesia yang ada di Jakarta.Disini secara rutin dipertunjukan acara- acara seni dan budaya, termasuk pementasan drama, tari, wayang, musik, pembacaaan puisi, pameran lukisan dan pertunjukan film. Dipusat kesenian TIM ini kita bisa menemukan berbagai jenis kesenian tradisional sampai kotemporer, baik yang merupakan tradisi asli Indonesia maupun dari luar negeri.


Taman Mini Indonesia Indah

TMII merupakan taman rekreasi dan museum budaya Bangsa Indonesia.Ditaman ini diperkenalkan, dilestarikan dan dikembangkan berbagai bentuk budaya bangsa Indonesia.Taman ini dibangun pada tahun1972 dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 7 April 1975.TMII memiliki luas 120 hektar yang menampilkan kebesaran budaya dalam bentuk mini.Sebagai Taman TMII bukanlah museum yang diam, yang hanya memamerkan anjuangan daerah secara lengkap.Tapi secara langsung menyuguhkan objek dan tontonan hidup yang membuat pengunjung seakan menyatu dan berada ditengah-tengah kehidupan budaya. Selain itu juga Desa Wisata, Museum Keprajuritan dan lain-lain.


Pulau Seribu

Gugusan Pulau Seribu masuk wilayah Jakarta Utara. Menurut catatan, Kepulauan Seribu memiliki sekitar 342 pulau, termasuk pulau-pulau terumbu karang dan pulau-pulau pasir.Udaranya bersih, lautnya membiru penuh dengan taman bunga karang.Untuk memancaing pun memang tepat dan mengesankan begitu pula untuk olahraga air.Disamping rekreasi dan wisata bahari, kepulauan ini adalah Taman Nasional Laut tempat penelitian oseanologi, arkeologi serta untuk mempelajari tumbuhan laut dan satwa laut yang langka.


Sumber :

http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=4200&Itemid=1434

27 April 2007

Jakarta Menyimpan Sejarah Kampung Tua

Tak cukup sehari menyelusuri sisa-sisa Kampung Tua di Jakarta Kota. Di sana di bekas pembantaian masal terdapat satu meja sembahyang. Ada delapan Teko Teh di bekas rumah tua milik saudagar Cina. Glodok yang sekarang menjadi wilayah bisnis ternyata dulu merupakan ruang isolasi warga Cina.

Upaya Museum Sejarah Jakarta menjadi pusat informasi sejarah perkembangan kota dan budaya masyarakat Jakarta sulit direalisir. Terlebih bila menyangkut masa prasejarah masa kini dalam bentuk yang edukatif dan rekreatif, agak kerepotan. Betapa tidak, Jakarta sebagai ibukota Republik Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang. Betapa pun usaha maksimal telah diupayakan oleh Museum Sejarah Jakarta untuk mengumpulkan informasi tentang sejarah Jakarta, namun ada saja bagian dari sejarah Jakarta yang belum dapat ditampilkan serta diinformasikan secara maksimal kepada pengunjung museum. 

Sejarah kota Jakarta diperkirakan dimulai sekitar 3.500 SM, diawali dengan terbentuknya pemukiman sejarah di sepanjang daerah aliran sungai Ciliwung. Seiring dengan perjalanan sejarah, maka berbagai kampung tumbuh di sepanjang aliran sungai itu. Kampung-kampung ini ada yang bertahan sampai sekarang yang di sebut Kampung Tua. Diantaranya adalah Kampung Bandan, Kampung Orang Cina (Pecinan), Kampung Luar Batang, Kampung Pekojan, Kampung Angke, Kampung Kebon Jeruk dan masih banyak lagi. Kampung-kampung ini telah banyak mengalami perubahan karena termakan waktu, kendati letak dan sisanya masih bisa disaksikan di era pembangunan.

Keberadaan kampung tua dan bangunan-bangunan bersejarah yang terletak di kampung-kampung tersebut justru merupakan kelebihan yang dimiliki kota Jakarta. Walaupun Jakarta tidak memiliki keindahan alamiah. Semisal Hongkong dengan peak-nya atau lalu lalang kapal di pelabuhan, atau istana-istana berlapis emas di Bangkok. Selain juga tidak memiliki daerah hijau di sekitar waduk-waduk air bersih di tengah-tengah kota seperti di Singapura. Tetapi Jakarta memiliki kampung-kampung tua beserta bangunan-bangunan tua yang ada di wilayah tersebut. Merupakan aset bernilai tinggi di wilayah Jakarta Kota.

Museum Sejarah Jakarta (MSJ) berusaha menginformasikan sejarah kota Jakarta secara lengkap. Termasuk keberadaan kampung-kampung tua bersejarah ini. Namun karena keterbatasan ruang pamer dan koleksi yang dimiliki, maka sejak tahun 2002 MSJ mengadakan terobosan dengan mengajak masyarakat langsung berkunjung ke kampung-kampung tua tersebut. Kebetulan sebagian dari kampung-kampung tua itu terletak di Kawasan Kota Tua di sekitar MSJ.

Kegiatan yang pada awalnya disebut Wisata Kampung Tua, dan kini dinamakan Kunjungan Kampung-Kampung Bersejarah ini, sengaja dirancang untuk dapat dinikmati oleh untuk semua lapisan masyarakat lokal maupun mancanegara. Wisata dilakukan dengan berjalan kaki, agar peserta dapat langsung merasakan denyut kehidupan di kampung-kampung tua tersebut sambil menikmati keindahan arsitektur dari bangunan-bangunan bersejarah yang terdapat didalamnya


Glodok Sebagai Ruang Isolasi Warga China

Sejarah menunjukan, Glodok yang kini menjadi pusat bisnis di perkotaan ternyata bekas ruang isolasi kaum Cina. Sejak zaman sebelum Gubernur Jenderal Jan Pieter Zoon Coen berkuasa, Glodok sudah didiami oleh orang Tionghoa. Namun, setelah terjadinya pemberontakan laum Tionghoa pada tahun 1740, barulah Glodok menjadi pusat perkampungan mereka. Sesudah pemberontakan itu ditumpas oleh kompeni, mereka tidak diperbolehkan lagi tinggal di dalam tembok kota. Glodok adalah perkampungan yang ditunjuk oleh kompeni sebagai kampung mereka. Sejak itulah, Glodok berubah sebagai Pecinan dan sebagai pusat perdagangan.

Sebagai pecinan, tentu saja Glodok banyak dihuni warga Tionghoa. Kebanyakan selain yang tinggal di kampung sekelilingnya, warga Tionghoa bersama keluarganya bermukim di bagian lantai atas. Sedangkan di ruang bawah menjadi ruang usaha. Benarlah bahwa Ruko yang kini bertebaran di berbagai tempat merupakan gaya hidup orang Tionghoa yang tidak suka hidup boros. Tapi, sejak beberapa waktu yang lalu sebagian dari mereka sudah meninggalkan Ruko dan memilih tinggal di perumahan real estate yang terdapat di lima wilayah kota Jakarta


Rumah Keluarga Souw

Kali Besar menuju jalan Patekoan (Perniagaan). Konon nama Patekoan artinya delapan buah teko/poci. Di masa Gan Djie menjabat sebagai Kapitein Cina, ia tinggal di wilayah yang sekarang bernama Patekoan ini. Kapitein Gan dan istrinya berjiwa sosial, sehingga mereka sengaja menyediakan delapan buah teko (poci) berisi teh. Angka delapan sengaja dipilih sebab mempunyai konotasi baik dalam Kebudayaan Tionghoa. Mereka yang tengah kehausan di perjalanan dipersilahkan minum air teh yang disediakan oleh Kapitein Gan itu. Pada waktu itu di daerah tersebut belum banyak yang berjualan makanan dan minuman seperti sekarang. Sehingga air teh ini sangat menolong orang yang kehausan dalam perjalanan. Akhirnya jalan tersebut dinamakan Patekoan.

Di antara beberapa gedung tua berarsitektur Tionghoa kuno di Jakarta Kota yang belum dihancurkan seperti di jalan Patekoan adalah bekas rumah keluarga saudagar Souw. Salah satu dari anggota keluarga ini yang terkenal adalah kakak-beradik Souw Siauw Tjong dan Souw Siauw Keng. Kakek buyut mereka adalah Luitenant der Chineezen Souw Kong Seng (1766-1821) dan ayah mereka adalah Luitenant der Chineezen Souw Thian Pie. Souw Siauw Tjong adalah salah seorang terkaya di Batavia pada masa itu. Ia memiliki tanah luas di Paroeng Kuda, Kedawung Wetan dan Ketapang di wilayah Tangerang Banten. Selain kaya-raya, ia berjiwa sosial. Mendirikan sekolah-sekolah bagi anak-anak bumiputera di tanah miliknya, memelihara orang-orang miskin dan menyumbangkan makanan dan bahan-bahan bangunan pada waktu terjadi kebakaran di daerah sekitar tempat tinggalnya. Rumah keluarga Souw ini sampai sekarang masih terawat dengan baik dan masih didiami oleh keturunan dari Souw Siauw Tjong. Di tahun 50-an di kampung Blandongan Jakarta Kota di ditemui seorang warga keturunan China yang memiliki jiwa sosial. Bernama Pah Wong So (Wong Souw ?). Ia membuka semacam rumah singgah/rumah yatim piatu untuk orang-orang miskin, gelandangan dan kaum dhuafa lainnya. Mereka dipelihara, diberi makan dan pakaian seragam. Dan dididik sesuai keahliannya. Semisal menjadi tukang gunting rambut, penjahit pakaian, sol sepatu atau apa saja berkaitan dengan ekonomi. Mereka juga disalurkan kepada majikan yang membutuhkan tenaga. Seperti pembantu rumah tangga, tukang cuci, tukang masak di rumah makan dll. Mungkinkah Pah Wong So masih keturunan saudagar Cina yang berjiwa sosial ? Masih jadi pertanyaan.  

ejarah terus bergulir, tapi rumah keluarga Souw masih dipertahankan keasliannya, termasuk arsitekturnya yang indah. Sedangkan gedung SMUN 19, yang merupakan bekas Gedung THHK. Juga punya menyimpan sejarah yang unik. Lukman, Kepala SMUN 19, berkisah bahwa sekolah ini juga menyimpan sejarah. D tempat inilah mula pertama berdiri suatu organisasi modern di kota Batavia (Jakarta Kota).


Kelenteng Hong San Bio (Toa Sai Bio)

Kelenteng ini dinamakan Toa Sai Bio karena dewata yang dipuja di kelenteng ini dikenal sebagai Toa Sai Kong atau Paduka Duta Besar, dan belakangan berubah menjadi Toa Sebio. Nama Toa Sebio ini sampai sekarang masih dipakai di kalangan penduduk lama Jakarta, walau nama jalannya telah diganti menjadi Kemenangan III. Kelenteng ini dibangun oleh orang Hokian dari kabupaten Chang Tai Keresidenan Zhangzhou, propinsi Fujian dan dipersembahkan kepada dewata dari aliran Daoisme Cheng-goan Cin-kun.Yang menarik disini ada sebuat tempat hio (hio louw) yang terletak di ruang utama kelenteng ini. Hio Louw ini berangkat tahun 1751 dan memiliki ukiran yang sangat indah. Puas melihat keindahan kelenteng serta mengamati kegiatan di kelenteng ini peserta meneruskan perjalanan ke Kelenteng Jin DeYuan.


Tragedi Pembantaian Angke

Kelenteng Jin De Yuan yang terletak di Jl. Kemenangan III merupakan salah satu kelenteng tertua di Jakarta Kota. Didirikan tahun 1850 oleh Letnan Kwee Hoen dan diberi nama Koan-Im Teng. Kelenteng ini dipersembahkan kepada Dewi Koan-Im (Dewi Welas Asih). Konon dari kata Koan Im Teng inilah kemudian timbul istilah kelenteng yang berarti “kuil Tionghoa”. Kelenteng ini merupakan salah satu dari empat kelenteng besar yang berada di bawah pengelolaan Kong Koan atau Dewan Tionghoa. Keempat kelenteng itu adalah Kelenteng Goenoeng Sari, Kelenteng Toa Peh Kong (di Ancol), Kelenteng Jin Deyuan sendiri serta kelenteng Hian Thian Shang Te Bio di Tanah Tandjoeng (sekarang sudah musnah). Tahun 1740 kelenteng ini turut dirusak dalam peristiwa pembantaian terbesar etnis Tionghoa dalam sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia. Peristiwa yang terjadi tanggal 9-12 Oktober 1740 dan menelan korban 10.000 jiwa inilah yang kemudian dikenal sebagai Tragedi Pembantaian Angke. Hanya sebuah meja sembahyang berangka tahun 1724 yang tersisa dari peristiwa pambakaran kelenteng ini. 

Gereja Santa Maria De Fatima

Begitu melihat arsitektur gereja ini, peserta langsung mengerti mengapa mereka diajak untuk mengunjungi gereja ini. Dari segi gaya arsitektur gereja ini sangat khas dan mungkin satu-satunya di Indonesia. Gereja ini dibangun dalam bentuk gedung besar kediaman seorang pejabat Tionghoa, dengan bentuk atap ian-boe heng (ekor walet) serta dikawal sepasang shi shi (singa batu). Tak banyak yang diketahui mengenai pemiliknya yang pertama kecuali ia seorang berpangkat Luitenant derc hineezen dan bermarga Tjioe.

Salah satu keistimewaan gedung ini adalah adanya inskripsi dalam aksara Tionghoa. Di bagian bubungan atap tertera daerah asal pemiliknya yang terdahulu yaitu kabupaten Nan An, keresidenan Quanzhou, propinsi Fujian. Inskripsi lain juga di bagian bubungan atap yaitu fu shou, kang, ning yang artinya rezeki, umur panjang, kesehatan dan ketentraman.Di bawah pengelolaan gereja, bangunan ini tampak sangat terpelihara baik tanpa menghilangkan keasliannya. Sebuah sketsel berwarna merah dan emas dipasang di depan pintu utama gereja, berfungsi menghalangi pandangan luar langsung masuk ke dalam.

(dari berbagai sumber)

Sumber :

http://www.tamanismailmarzuki.com/article/jakartakotatua.html

Sejarah Jakarta Riwayat Sebuah Kota

Ringkasan Sejarah

Pengetahuan awal mengenai Jakarta terkumpul sedikit melalui berbagai prasasti yang ditemukan di kawasan bandar tersebut. Keterangan mengenai kota Jakarta sampai dengan awal kedatangan para penjelajah Eropa dapat dikatakan sangat sedikit. 

Laporan para penulis Eropa abad ke-16 menyebutkan sebuah kota bernama Kalapa, yang tampaknya menjadi bandar utama bagi sebuah kerajaan Hindu bernama Sunda, beribukota Pajajaran, terletak sekitar 40 kilometer di pedalaman, dekat dengan kota Bogor sekarang. Bangsa Portugis merupakan rombongan besar orang-orang Eropa pertama yang datang ke bandar Kalapa. Kota ini kemudian diserang oleh seorang muda usia, bernama Fatahillah, dari sebuah kerajaan yang berdekatan dengan Kalapa. Fatahillah mengubah nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta pada 22 Juni 1527. Tanggal inilah yang kini diperingati sebagai hari lahir kota Jakarta. Orang-orang Belanda datang pada akhir abad ke-16 dan kemudian menguasai Jayakarta. 

Nama Jayakarta diganti menjadi Batavia. Keadaan alam Batavia yang berawa-rawa mirip dengan negeri Belanda, tanah air mereka. Mereka pun membangun kanal-kanal untuk melindungi Batavia dari ancaman banjir. Kegiatan pemerintahan kota dipusatkan di sekitar lapangan yang terletak sekitar 500 meter dari bandar. Mereka membangun balai kota yang anggun, yang merupakan kedudukan pusat pemerintahan kota Batavia. Lama-kelamaan kota Batavia berkembang ke arah selatan. Pertumbuhan yang pesat mengakibatkan keadaan lilngkungan cepat rusak, sehingga memaksa penguasa Belanda memindahkan pusat kegiatan pemerintahan ke kawasan yang lebih tinggi letaknya. Wilayah ini dinamakan Weltevreden.

MENGAMATI kota Jakarta bagaikan membaca catatan panjang yang merekam berbagai kejadian masa lalu. Berbagai bangunan dan lingkungan di Jakarta menyimpan jejak-jejak perjalanan masyarakatnya, bagaimana mereka bersikap menghadapi tantangan zamannya, memenuhi kebutuhan hidupnya dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Ia menyimpan suka-duka dan pahit-manisnya perkembangan, di mana kita dapat menyerap pelajaran yang berharga.

Jakarta, Ibukota Republik Indonesia, memiliki banyak rekaman sejarah. Antara lain dalam bentuk bangunan maupun lingkungan. Di dalamnya tercermin upaya masyarakat masa lalu dalam membangun kotanya yang tak luput dari berbagai masalah dari zaman ke zaman.

“Jika kita memandang kota Jakarta sekarang, mungkin sulit terbayang bahwa ribuan tahun yang lalu kawasan ini masih baru terbentuk dari endapan lumpur sungai-sungai yang mengalir ke Jakarta. Misalnya Kali Ciliwung, Kali Angke, Kali Marunda, Kali Cisadane, Kali Besar, Kali Bekasi dan Kali Citarum. Usia dataran Jakarta kini diperkirakan 500 tahun berdasarkan geomorfologi, ilmu lapisan tanah.

Endapan ini membentuk dataran dengan alur-alur sungai yang menyerupai kipas. Dataran ini setelah mantap lama kelamaan dihuni orang dan terbentuklah beberapa kelompok pemukiman, di mana salah satunya kemudian berkembang menjadi pelabuhan besar, " kata Muhammad Isa Ansyari SS, Sejarawan Terkemuka di Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Pemda DKI Jakarta.

Ia menuturkan, kota Jakarta merupakan kota yang berkembang dengan cepat sejak mendapat peran sebagai Ibukota Rl. Perkembangan itu disebabkan oleh faktor-faktor sosial, ekonomi dan budaya yang saling menjalin satu sama lain.

Bermula dari sebuah lingkungan pemukiman kecil dengan kegiatan hidup terbatas, dan kemudian berkembang menjadi lingkungan pemukiman megapolitan dengan berbagai kegiatan yang amatkompleks. Dalam paparan sejarah pertumbuhannya, di mana pemerintah kotanya silih berganti dan kondisi masyarakatnya sangat majemuk, baik dari suku bangsa, ras dan agama berikut berbagai aspek kehidupannya, warga kotanya tetap membangun tempat bermukim dan berkehidupan mereka sesuai dengan kemampuan dana, daya dan teknologi yang mereka miliki.


Sejarah Jakarta

Muhammad Isa Ansyari SS mengungkapkan sejarah kota Jakarta dimulai dengan terbentuknya sebuah pemukiman di muara Ciliwung. Menurut berita Kerajaan Portugal pada awal abad ke-15, pemukiman tersebut bernama "Kalapa" dan merupakan sebuah Bandar penting di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran, yang pusatnya pada waktu itu berada di Kota Bogor.

"Di Kerajaan Pajajaran, Bogor, itu kini masih terdapat prasasti peninggalan abad ke-16. Nama prasasti itu "Sato Tulis", peninggalan Rahyang Niskala Watu Kencana, Namun oleh orang Eropa Bandar tersebut lebih dikenal dengan nama Sunda Kalapa, karena berada di bawah kekuasaan Sunda," kata Muhammad Isa Ansyari SS.

Dalam sejarah, ujar Sejarawan Terkemuka Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Pemda OKI Jakarta itu, Bandar Malaka ditaklukkan Kerajaan Portugal pada 1511. Tujuan Portugal ketika itu adalah mencari jalur laut untuk mencapai kepulauan Maluku, sumber rempah-rempah. Maka pada 1522 mendaratlah kapal utusan dari Malaka di bawah pimpinan Francesco De Sa.

Menurut laporan Francesco De Sa terjadi perundingan dengan pemuka Bandar Kalapa yang berada di bawah kekuasaan Raja Sunda yang beragama Hindu.

Sementara itu di Jawa Tengan dengan surutnya Kerajaan Majapahit berkembanglah Kerajaan Islam di Demak. Kerajaan Islam itu kemudian menyerang Kerajaan Sunda di Jawa Barat meliputi Cirebon, Banten, Kalapa dan lain-lain. Mengingat kurangnya sumber-sumber asli Jawa Tengah tnengenai peristiwa itu, maka kita terpaksa berpaling kepada berita Kerajaan Portugal yang pada akhirnya tidak saja berlabuh di Maluku tetapi juga Kerajaan Portugal ini merapatdi Timor Timur, menyatakan bahwa pada 1526-1527 sebuah armada Portugal telah mengunjungi Sunda Kalapa untuk memenuni perfanjian tahun 1522.

"Ternyata mereka belum mengetahui bahwa telah terjadi perubahan kekuasaan dari Kerajaan Pajajaran ke Kerajaan Banten, yaltu orang-orang dari Jawa Tengah yang beragama Islam .Ivlenurut berita yang mereka dapat, nama Pangtima yang diberikan adalah Falatehan, sebutan mereka untuk nama Fatahillah," ujar Muhammad Isa Ansyari SS.


Masa Prasejarah

Di beberapa tempat di Jakarta seperti Pasar Minggu, Pasar Rebo, Jatinegara, Karet, Kebayoran, Kebon Sirih, Kebon Nanas, Cawang, Kebon Pala, Rawa Belong, Rawa Lefe, Rawa Bangke, ditemukan benda-benda pra sejarah seperti kapak, beliung, gurdi, dan pahat dari batu. Alat-alat tersebut berasal dari zaman batu atau zaman neolitikum antara tahun 1000 SM. Jadi, pada masa itu sudah ada kehidupan manusia di Jakarta.

"Dan seperti daerah latnnya, di Jakarta juga ditemukan prasasti. Prasasti Tugu ditemukan di Cilineing. Prasasti itu sarat informasi tentang Kerajaan Tarumanegara dengan Raja Purnawarman. Menurut prasasti itu, Jakarta merupakan wilayah Kerajaan Tarumanegara, kerajaan tertua di Puiau Jawa, di samping Bogor, Banten, Bekasi sampai Citarum di sebelah timur dan Giaruten," kata Muhammad isa Ansyari SS.


Kronologis Peristiwa Penting

Pada 686 Masehi. Kerajaan Tarumanegara hancur akibat serangan balatentara Kerajaan Sriwijaya. Abad ke-14, Jakarta masuk ke wilayah Kerajaan Pakuan Pajajaran yang sering disebtit Kerajaan Pajajaran, atau Kerajaan Sunda. Kerajaan Pajajaran memiiiki enam petabuhan, diantaranya pelabuhan Sunda Kalapa. Kota pelabuhan ini terletak di Teluk Jakarta - di muara sungai Citiwung - yang merupakan pusat perdagangan paling penting seiak abad ke-12 hingga ke-16. 

Senin, 21 Agustus 1522. Begitu pentingnya, Sunda Kalapa tak luput dari incaran orang-orana Portugis yang sejak tahun 1511 sudah bercokol di daratan Malaka. Keinginan mereka mendapatkan sambutan baik dari Raja Pajajaran. Selain berkepentingan soal perdagangan, Raja Pajajaran juga bermaksud meminta bantuan orang-orang Portugis dalam menghadapi orang-orang Islam, yang sudah banyak pengikutnya di Banten dan Cirebon. Demak, kala itu, sudah menjadi pusat kekuatan dan penyebaran agama Islam.

Perjanjian kerjasama pun ditandatangani antara Raja Pajajaran dan orang Portugis. Isinya orang Portugis ditzinkan mendirikan benteng di Sunda Kalapa, yang ditandai di tepi sungai Ciliwung. Rabu 22 Juni 1527. Perjanjian itu tak dapat diterima Demak, Kerajaan Islam yang saat itu sedang berada di puncak kejayaan. "Sultan Demak mengirimkan balatentaranya, yang dipimpin sendiri oleh menantunya, Fatahillah. Pasukan Fatahillah berhasil menduduki Sunda Kalapa pada 1527. Tatkala armada Portugal datang, pasukan Fatahillah menghaneurkannya. Sia-sia armada Portugal itu hengkang Ke Malaka," ujar Muhammad Isa Ansyari SS.

Dengan kemenangan itu Fatahillah menggantt nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta. Artinya "Kemenangan Berjaya”. Itulah peristiwa bersejarah yang ditetapkan sebagai 'hari jadl' Kota Jakarta. Kekuasaan Jayakarta akhirnya berada di tangan Fatahillah, dan makin meluas sampai ke Banten menjadi Kerajaan Islam.

Tahun 1595. Cornells de Houtman dan anak buahnya tiba di perairan Banten. Orang-orang Belanda itu datang mencari rempah-rempah. Persaingan di antara mereka makin ketat dibumbui permusuhan.

Rabu 20 Maret 1602 seorang token dan negarawan Kerajaan Belanda, Johati van Oldenbarneveld, mengambil suatu prakarsa mengumpulkan para pedagang Belanda dalam suatu wadah. Berdirilah serikat dagang Verenigde Oost Indische Compaqnie atau VOC. VOC merupakan wadah konglomerat zaman dulu.

Tahun 1617. Orang-orang Kerajaan Belanda diizinkan berdagang di Jayakarta. Mereka memperoleh sebidang tanah di sebelah timur sungai Ciliwung, di perkampungan Cina. Di situ mereka membangun kantor dan benteng. Kubu pertahanan Kerajaan Belanda itu tak disukai orang Jayakarta, Banten maupun Kerajaan Inggris. Mereka kemudian berperang.

Tahun 1619. Terjadi pertempuran sengit segitiga antara Kerajaan Belanda, Kerajaan Inggris dan Kerajaan Portugal di pelabuhan Sunda Kalapa. Suasana Teluk Jayakarta itu sekejab menjadi merah api dan merah darah. Di laut teluk banyak bergelimpangan mayat-mayat serdadu Kerajaan Belanda dan Kerajaan Portugal setelah kedua negara kerajaan itu habis digempur pasukan laut Kerajaan Inggris. Inggris menang dalam perang itu.

Kamis, 30 Mei 1619, JP Goen menaklukkan kembali sekaligus menguasai Jayakarta. Saat itu armada Kerajaan Inggris sudah tidak ada lagi karena telah berangkat berlayar menuju Australia, meninggalkan Jayakarta. Sedang armada (laut Kerajaan Portugal pergi menuju ke wilayah ujung timur Nusantara, tepatnya di Timor Timur.

"Jayakarta pada tahun tersebut memasuki lembaran baru. Nama Jayakarta diubah Kerajaan Belanda menjadi Batavia. Nama Batavia ini berasal dari nama Batavieren, bangsa Eropa yang menjadi nenekmoyang Kerajaan Belanda," tukas Muhammad Isa Ansyari SS.

VOC mula-mula menjadikan Batavia sebagai pusat perdagangan dan pemerintahan. Dengan kepiawaian kompeni lewat intrik dan politik adu domba atau cfewtte et impera terhadap raja-raja di Nusantara. Seluruh wilayah Nusantara dijarahnya. Kejayaannya pun berlangsung cukup lama.

Tahun 1798. VOC jatuh dan dibubarkan. Kekuasaan, harta benda dan utangnya yartg 134,7 juta gulden diambil alih Pemerintahan Kerajaan Belanda. Rabu, 1 Januari 1800, Indonesia sejak itu diperintah langsung oleh Pemerintah Kerajaan Belanda. Suatu majelis untuk urusan jajahan Asia lalu didirikan.

Namun, awal Maret 1942, Kerajaan Jepang merebut kekuasaan dari Kerajaan Belanda pada Perang Dunia ke-2. Nama Batavia dikubur balatentara Kerajaan Jepang. Dan, nama Jakarta menggantikannya sampai sekarang.

Sumber :
Majalah Amanah
http://swaramuslim.net/galery/more.php?id=A5617_0_18_0_M
22 Juni 2007

Sejarah Jakarta

Jakarta bermula dari sebuah bandar kecil di muara Sungai Ciliwung sekitar 500 tahun silam. Selama berabad-abad kemudian kota bandar ini berkembang menjadi pusat perdagangan internasional yang ramai. Pengetahuan awal mengenai Jakarta terkumpul sedikit melalui berbagai prasasti yang ditemukan di kawasan bandar tersebut. Keterangan mengenai kota Jakarta sampai dengan awal kedatangan para penjelajah Eropa dapat dikatakan sangat sedikit.


Laporan para penulis Eropa abad ke-16 menyebutkan sebuah kota bernama Kalapa, yang tampaknya menjadi bandar utama bagi sebuah kerajaan Hindu bernama Sunda, beribukota Pajajaran, terletak sekitar 40 kilometer di pedalaman, dekat dengan kota Bogor sekarang. Bangsa Portugis merupakan rombongan besar orang-orang Eropa pertama yang datang ke bandar Kalapa. Kota ini kemudian diserang oleh seorang muda usia, bernama Fatahillah, dari sebuah kerajaan yang berdekatan dengan Kalapa. Fatahillah mengubah nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta pada 22 Juni 1527. Tanggal inilah yang kini diperingati sebagai hari lahir kota Jakarta. Orang-orang Belanda datang pada akhir abad ke-16 dan kemudian menguasai Jayakarta.

Nama Jayakarta diganti menjadi Batavia. Keadaan alam Batavia yang berawa-rawa mirip dengan negeri Belanda, tanah air mereka. Mereka pun membangun kanal-kanal untuk melindungi Batavia dari ancaman banjir. Kegiatan pemerintahan kota dipusatkan di sekitar lapangan yang terletak sekitar 500 meter dari bandar. Mereka membangun balai kota yang anggun, yang merupakan kedudukan pusat pemerintahan kota Batavia. Lama-kelamaan kota Batavia berkembang ke arah selatan. Pertumbuhan yang pesat mengakibatkan keadaan lilngkungan cepat rusak, sehingga memaksa penguasa Belanda memindahkan pusat kegiatan pemerintahan ke kawasan yang lebih tinggi letaknya. Wilayah ini dinamakan Weltevreden. Semangat nasionalisme Indonesia di canangkan oleh para mahasiswa di Batavia pada awal abad ke-20.

Sebuah keputusan bersejarah yang dicetuskan pada tahun 1928 yaitu itu Sumpah Pemuda berisi tiga buah butir pernyataan , yaitu bertanah air satu, berbangsa satu, dan menjunjung bahasa persatuan : Indonesia. Selama masa pendudukan Jepang (1942-1945), nama Batavia diubah lagi menjadi Jakarta. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Ir. Soekarno membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta dan Sang Saka Merah Putih untuk pertama kalinya dikibarkan. Kedaulatan Indonesia secara resmi diakui pada tahun 1949. Pada saat itu juga Indonesia menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada tahun 1966, Jakarta memperoleh nama resmi Ibukota Republik Indonesia. Hal ini mendorong laju pembangunan gedung-gedung perkantoran pemerintah dan kedutaan negara sahabat. Perkembangan yang cepat memerlukan sebuah rencana induk untuk mengatur pertumbuhan kota Jakarta. Sejak tahun 1966, Jakarta berkembang dengan mantap menjadi sebuah metropolitan modern. Kekayaan budaya berikut pertumbuhannya yang dinamis merupakan sumbangan penting bagi Jakarta menjadi salah satu metropolitan terkemuka pada abad ke-21.

Abad ke-14 bernama Sunda Kelapa sebagai pelabuhan Kerajaan Pajajaran. 

22 Juni 1527 oleh Fatahilah, diganti nama menjadi Jayakarta (tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari jadi kota Jakarta keputusan DPR kota sementara No. 6/D/K/1956).

4 Maret 1621 oleh Belanda untuk pertama kali bentuk pemerintah kota bernama Stad Batavia. 

1 April 1905 berubah nama menjadi 'Gemeente Batavia'.

8 Januari 1935 berubah nama menjadi Stad Gemeente Batavia. 

8 Agustus 1942 oleh Jepang diubah namanya menjadi Jakarta Toko Betsu Shi.

September 1945 pemerintah kota Jakarta diberi nama Pemerintah Nasional Kota Jakarta.

20 Februari 1950 dalam masa Pemerintahan. Pre Federal berubah nama menjadi Stad Gemeente Batavia. 

24 Maret 1950 diganti menjadi Kota Praj'a Jakarta.

18 Januari 1958 kedudukan Jakarta sebagai Daerah swatantra dinamakan Kota Praja Djakarta Raya. 

Tahun 1961 dengan PP No. 2 tahun 1961 jo UU No. 2 PNPS 1961 dibentuk Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya.

31 Agustus 1964 dengan UU No. 10 tahun 1964 dinyatakan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya tetap sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia dengan nama Jakarta. 

Tahun1999, melalaui uu no 34 tahun 1999 tentang pemerintah provinsi daerah khusus ibukota negara republik Indonesia Jakarta, sebutan pemerintah daerah berubah menjadi pemerintah provinsi dki Jakarta, dengan otoniminya tetap berada ditingkat provinsi dan bukan pada wilyah kota, selain itu wiolyah dki Jakarta dibagi menjadi 6 ( 5 wilayah kotamadya dan satu kabupaten administrative kepulauan seribu).

Sumber :

http://www.my-indonesia.info/page.php?ic=1197&id=1461