Kegiatan Pembangunan di Provinsi DKI Jakarta sudah tidak mengindahkan lagi tata ruang sehingga banyak ruang terbuka hijau yang seharusnya tetap dipertahankan kini menjadi bangunan. “Kondisi Ruang Terbuka Hijau (RTH) DKI baru di bawah 10 persen, target Gubernur DKI sendiri hanya mampu 13,9 persen, padahal target nasional 30 persen,” kata pakar planologi perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna di Jakarta, Senin.
Seharusnya katanya, kalau mengikuti UU Penataan Ruang, pemerintah provinsi DKI Jakarta dapat dikenakan sanksi karena tidak memenuhi target RTH, Gubernur bahkan menyatakan, target RTH 13,9 persen untuk DKI hanya mimpi. “Kondisi ini menunjukkan tidak adanya pengendalian ruang di DKI Jakarta, sebagai contoh kawasan TB Simatupang yang seharusnya menjadi green belt (sabuk hijau) Jakarta kini berubah fungsi menjadi perkantoran,” ujar Yayat di Jakarta, Senin.
Yayat juga memaparkan jajak pendapat yang dimuat di Kompas menujukkan tiga hal yang buruk dari kota Jakarta kualitas udara, kondisi jalan, dan kebersihan. Kemudian dari survai Ecosoc 2007 memperlihatkan 36,8 responden mengatakan kondisi Jakarta buruk, serta 27,9 persen menyebutkan tidak ada perubahan di kota Jakarta.
Sementara Guru Besar Departemen Arsitektur UI, Prof.Ir.Gunawan Tjahjono, M.Arch PhD mengatakan, rendahnya pengendalian ruang di DKI karena pejabat yang berwenang hanya diisi ahli hukum. “Padahal bidang ini tidak semata-mata diawasi orang yang paham hukum, akan tetapi juga orang yang paham dampak dari pembangunan yang menyalahi tata ruang,” ujarnya.
Gunawan mempertanyakan, kebijakan tata ruang yang diberlakukan di DKI Jakarta karena sebenarnya sudah banyak sekali terjadi penyimpangan. Bahkan kalau perlu selain dibuat master plan juga ada sub plan tetapi berkesinambungan.
Pada tahun 2000, lima tahun sebelum masa rencana tata kota habis (1985-2005), pemerintah DKI Jakarta meluncurkan masterplan baru 2000 – 2010. Ada masa lima tahun (2000-2005) yang dikoreksi pada rencana tata kota 2000 – 2010. Namun, rencana tata ruang wilayah yang sekarang, yaitu 2010-2030, malah terlambat muncul, dan tampaknya tenggat masterplan 2010-2030 pada masa jabatan Dewan periode 2004-2009 akan terlewati.
Dia juga mengkhawatirkan dengan banyak disetujui pembangunan super blok yang dapat mengurangi kemacetan lalulintas, namun yang terjadi justru sebaliknya. Green roof yang disebut-sebut dapat memenuhi kebutuhan 30 persen RTH juga akan sulit diterapkan, untuk membuat atap untuk tanaman tidak mudah, harus dirancang sejak awal. Gedung-gedung yang sedang dibangun saat ini sebagian besar tidak mengadopsi sistem tersebut, ujarnya.
Transparansi atas Tata Ruang Kota dan audit sangat diperlukan untuk menemukan benarkah Kota Jakarta telah dibangun sesuai dengan Tata Ruangnya. Selain itu Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2000-2010 akan segera berakhir. Jakarta terancam tak punya rencana tata ruang. Repotnya, DPRD Jakarta yang akan habis masa kerjanya pun belum menyiapkan masterplan yang baru, seperti diamanatkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Pada usianya ke-482, Jakarta yang memiliki luas 650 Km2, semakin tua dan berantakan. Pergantian pemimpin, membuat berganti pula arah kebijakan pembangunan. Warna-warna peta Jakarta berubah-ubah, warna hijau semakin menghilang.
Jakarta semakin menjadi kota beton menakutkan dan diimbangi dengan penghamburan dana daerah yang terbilang besar dengan ditandai monumen-monumen dan beton-beton monorel yang terbengkalai. Kemacetan lalu lintas sudah semakin melumpuhkan gerak penduduk kota Jakarta.
Tidak itu saja, Jakarta yang terintegrasi dalam kawasan Jabodetabenpunjur (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur) merupakan wilayah metropolitan terbesar di Asia Tenggara serta merupakan wilayah megapolis urutan kedua dunia setelah megapolis Tokyo.
Seharusnya katanya, kalau mengikuti UU Penataan Ruang, pemerintah provinsi DKI Jakarta dapat dikenakan sanksi karena tidak memenuhi target RTH, Gubernur bahkan menyatakan, target RTH 13,9 persen untuk DKI hanya mimpi. “Kondisi ini menunjukkan tidak adanya pengendalian ruang di DKI Jakarta, sebagai contoh kawasan TB Simatupang yang seharusnya menjadi green belt (sabuk hijau) Jakarta kini berubah fungsi menjadi perkantoran,” ujar Yayat di Jakarta, Senin.
Yayat juga memaparkan jajak pendapat yang dimuat di Kompas menujukkan tiga hal yang buruk dari kota Jakarta kualitas udara, kondisi jalan, dan kebersihan. Kemudian dari survai Ecosoc 2007 memperlihatkan 36,8 responden mengatakan kondisi Jakarta buruk, serta 27,9 persen menyebutkan tidak ada perubahan di kota Jakarta.
Sementara Guru Besar Departemen Arsitektur UI, Prof.Ir.Gunawan Tjahjono, M.Arch PhD mengatakan, rendahnya pengendalian ruang di DKI karena pejabat yang berwenang hanya diisi ahli hukum. “Padahal bidang ini tidak semata-mata diawasi orang yang paham hukum, akan tetapi juga orang yang paham dampak dari pembangunan yang menyalahi tata ruang,” ujarnya.
Gunawan mempertanyakan, kebijakan tata ruang yang diberlakukan di DKI Jakarta karena sebenarnya sudah banyak sekali terjadi penyimpangan. Bahkan kalau perlu selain dibuat master plan juga ada sub plan tetapi berkesinambungan.
Pada tahun 2000, lima tahun sebelum masa rencana tata kota habis (1985-2005), pemerintah DKI Jakarta meluncurkan masterplan baru 2000 – 2010. Ada masa lima tahun (2000-2005) yang dikoreksi pada rencana tata kota 2000 – 2010. Namun, rencana tata ruang wilayah yang sekarang, yaitu 2010-2030, malah terlambat muncul, dan tampaknya tenggat masterplan 2010-2030 pada masa jabatan Dewan periode 2004-2009 akan terlewati.
Dia juga mengkhawatirkan dengan banyak disetujui pembangunan super blok yang dapat mengurangi kemacetan lalulintas, namun yang terjadi justru sebaliknya. Green roof yang disebut-sebut dapat memenuhi kebutuhan 30 persen RTH juga akan sulit diterapkan, untuk membuat atap untuk tanaman tidak mudah, harus dirancang sejak awal. Gedung-gedung yang sedang dibangun saat ini sebagian besar tidak mengadopsi sistem tersebut, ujarnya.
Transparansi atas Tata Ruang Kota dan audit sangat diperlukan untuk menemukan benarkah Kota Jakarta telah dibangun sesuai dengan Tata Ruangnya. Selain itu Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2000-2010 akan segera berakhir. Jakarta terancam tak punya rencana tata ruang. Repotnya, DPRD Jakarta yang akan habis masa kerjanya pun belum menyiapkan masterplan yang baru, seperti diamanatkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Pada usianya ke-482, Jakarta yang memiliki luas 650 Km2, semakin tua dan berantakan. Pergantian pemimpin, membuat berganti pula arah kebijakan pembangunan. Warna-warna peta Jakarta berubah-ubah, warna hijau semakin menghilang.
Jakarta semakin menjadi kota beton menakutkan dan diimbangi dengan penghamburan dana daerah yang terbilang besar dengan ditandai monumen-monumen dan beton-beton monorel yang terbengkalai. Kemacetan lalu lintas sudah semakin melumpuhkan gerak penduduk kota Jakarta.
Tidak itu saja, Jakarta yang terintegrasi dalam kawasan Jabodetabenpunjur (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur) merupakan wilayah metropolitan terbesar di Asia Tenggara serta merupakan wilayah megapolis urutan kedua dunia setelah megapolis Tokyo.
Namun tragisnya, ternyata Jakarta tidak memiliki arah pembangunan yang jelas. Banyak pembangunan, yang tidak merujuk pada rencana tata ruang kota yang benar dan menghadirkan inefisiensi, pemandangan yang tidak nyaman dan bahkan kenyamanan hidup dan bekerja di Ibukota.(*z/an)
Sumber :
http://matanews.com/2009/08/25/arah-pembangunan-jakarta-tidak-jelas/
25 Agustus 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar