Rabu, 02 Desember 2009

Bisakah Jakarta Bebas Banjir?

Bagi warga Jakarta khususnya dan penduduk Indonesia umumnya , Januari identik dengan “hujan setiap hari” atau Desember sering diasosiasikan dengan “gede-gedenya sumber (air)”. Ini cukup beralasan karena pada bulan-bulan itulah biasanya terjadi puncak siklus musim hujan di Indonesia dan wilayah ibukota tertutup genangan air.

Bahkan menurut prakiraan Badan Klimatologi, Meteorologi dan Geofisika (BKMG) curah hujan masih tinggi hingga bulan Februari bahkan mungkin Maret. Awal hingga pertengahan Februari 2009 akan menjadi puncak musim hujan.

Jika hujan turun berhari-hari yang terbayang di mata warga Jakarta terutama yang tinggal di bantaran kali Ciliwung dan kawasan-kawasan rawan banjir lainnya, adalah luapan air yang akan merendam rumah mereka selama berhari-hari.

Di saat seperti ini, orang lalu teringat pada Bendung Katulampa di Bogor, Pos Pengamat Ketinggian Air di Depok, Pintu Air Manggarai, Pintu Air Sunter di mana ketinggian muka air diukur, banjir kiriman, perahu karet, tenda darurat juga nasi bungkus.

Anehnya, meski banjir berulang setiap tahun, warga khususnya yang bermukim di daerah aliran sungai tidak bersedia direlokasi, mereka menganggap banjir itu sudah lumrah dan memiliki loteng di rumahnya untuk mengungsi, kemudian menunggu bantuan datang.

Walau mungkin sudah berganti-ganti generasi, tanggapan warga tetap sama dan ini agaknya bisa dipahami jika merujuk catatan yang dihimpun Tempointeraktif, ternyata Jakarta mempunyai cerita panjang soal banjir. Banjir besar pernah melanda Jakarta sejak masih bernama Batavia tahun 1621 kemudian berulang pada 1654, 1918, 1942, 1976, 1996, 2002 dan tentu saja yang paling mudah diingat banjir yang terjadi tahun 2007.

Banyak penyebab mengapa banjir menjadi sangat akrab dengan ibukota ini. Dataran Jakarta lebih rendah dari permukaan laut, juga 13 sungai yang melintasi wilayah ini. Kondisi itu diperparah oleh sistem drainase yang buruk, menumpuknya sampah dan sungai yang makin menyempit karena tepiannya dijadikan perumahan penduduk.

Kali Ciliwung, satu diantara sungai yang dulu pernah bermanfaat bagi masyarakat sebagai sumber air bersih, sarana transportasi, pembudidayaan ikan atau pertanian, kini jika musim hujan tiba berubah menjadi penyebab bencana.

Suatu Penelitian Neraca Keseimbangan Lingkungan Hidup Daerah tahun 2006; menunjukkan, Jakarta yang mempunyai luas wilayah 661,62 km2 di mana 609,61 km2 atau 91,99 persen sudah terbangun, hanya memiliki 18.180 ruang hijau terbuka (RTH) untuk menyerap air ke dalam tanah.

Akibatnya, selain setiap musim hujan air tak tertampung dan menggenagi sebagian besar wilayah Jakarta, juga tak dapat menyimpan cadangan air yang diperlukan di setiap musim kering/kemarau.

Untuk mengantisipasi datangnya banjir pada musim ini, Pemda DKI telah siap dengan aksi terpadu yang melibatkan berbagai instansi yang dikoordinasi oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Di lima wilayah DKI telah dibangun dapur umum yang setiap hari dapat menyiapkan 5.000 nasi bungkus.

Kalau menyimak rentetan kejadian yang nyaris berulang, tentu sering terpikir adakah cara yang dapat mengatasi bencana banjir seperti ini? Bisakah Jakarta terbebas dari genangan air? Atau haruskah kita berpikir bagaimanakah mengubah air bah ini dari sumber bencana menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi warga?


Mengatasi Banjir

Usaha untuk mengatasi agar Jakarta tak kebanjiran sudah pula dilakukan sejak lama. Berdasarkan catatan sejarah, penguasa Belanda (tahun 1920) Van Breen membangun kanal yang mengitari kota bagian barat untuk membuang limpahan air ke laut Jawa.

Saluran yang dibangun tahun 1922 ini masih berfungsi hingga sekarang, yaitu yang kita kenal sebagai Pintu Air Manggarai. Inilah yang kemudian disebut Banjir Kanal Barat. Van Breen kemudian merancang saluran Kanal Timur yang berhulu di Kali Cipinang dan bermuara di laut Jawa.

Ide ini agaknya kemudian mengilhami Presiden Megawati yang berecana membangun Banjir Kanal Timur (BKT), sepanjang 23 km membentang dari kali Cipinang ke laut Jawa dengan lebar antara 100-300 meter. Menurut rencana BKT selesai tahun 2010.

Namun persoalan-persoalan pelik yang membelit pembangunan BKT, seperti pembebasan tanah warga, membuat pembangunan BKT ini tersendat-sendat.

Banyaknya sampah di sungai menjadi salah satu penyebab banjir. Pemerintah DKI Jakarta harus mengangkat 600 m3 sampah sungai setiap kali banjir datang pada tahun lalu.
 
Upaya membangkitkan kesadaran masyarakat yang tinggal di daerah aliran sungai untuk lebih mencintai lingkungan, meski sangat sulit sebaiknya terus dilakukan dengan berbagai pendekatan. Memberikan pengetahuan untuk mengolah sampah menjadi barang bermanfaat, agaknya dapat membantu merubah kebiasaan membuang sampah ke sungai.

Prinsip-prinsip membangun alam yang ramah lingkungan yang dikenal dengan 3 Reduce, Reuse dan Recycle, secara bertahap lebih diintensifkan. Reduce, berarti mengurangi sampah, warga bisa membawa tempat makanan sendiri saat membeli makanan di warang jika dibawa pulang, atau membawa minuman dalam botol minum daripada membeli air dalam botol kemasan.

Reuse, artinya menggunakan kembali barang-barang bekas, misalnya ember atau kaleng untuk pot. Terakhir Recyle, mendaur ulang; misalnya sampah dapur dan daun dijadikan kompos, kemasan plastik minyak goreng, minuman instan dan lain-lain dapat dijadikan tas yang cantik dan trendi.

Usaha memindahkan penduduk yang tinggal di daerah aliran sungai juga bukan perkara mudah. Tipis kepedulian dan kesadaran warga bahwa sebenarnya keberadaan pemukiman penduduk di bantaran kali dapat menghambat arus sungai ke muara, sehingga air melimpah ke sisi sungai.

Sekalipun ada tawaran untuk pindah ke rumah susun misalnya, alasan klasik selalu muncul. Dana yang tak cukup untuk menyewa rumah atau letaknya jauh dari tempat mencari nafkah dan sederet dalih lainnya. Pendek kata, mereka lebih suka kebanjiran daripada dipindahkan.

Kesadaran warga untuk menyayangi lingkungan perlu terus dikobarkan. Membersihkan saluran air harus dilakukan setiap hari, tak perlu menunggu hujan turun. Membuang sampah atau memafaatkan sampah yang ada agar menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat harus terus digalakkan.

Ketika proyek BKT tak kunjung rampung, warga langganan banjir lebih suka menunggu bantuan atau antri di dapur umum untuk mendapatkan jatah nasi bungkus sementara kesadaran untuk membuang sampah di tempat seharusnya tak kunjung tiba dan mereka terus memperluas areal pemukiman di bantaran kali, maka impian Jakarta bebas genangan air, akan semakin jauh dari kenyataan. (agus sb/id)

Sumber :
http://blogs.depkominfo.go.id/bip/2009/01/22/bisakah-jakarta-bebas-banjir/
22 Januari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar